Sekapur Sirih
Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.
When I'm not working, I'm blogging :-)
Categories
Pengikut
Copyright
© 2014 by Mukti Yulianto.
Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.
Jumat, 05 Juli 2013
Apa
yang dilakukan oleh banyak orang, dan tampaknya islami, bahkan sering dihiasi
dalil, dapat kita temui. Misalnya amaliah dikaitkan dengan apa yang mereka
sebut nishfu sya’ban atau pertengahan bulan sya’ban. Demikian pula adanya
gejala ramai-ramai ke kuburan di mana-mana di bulan Sya’ban atau menjelang
Puasa Ramadhan. Ziarah kubur tiba-tiba banyak dilakukan orang menjelang
ramadhan, di Jawa disebut sadranan atau nyadran.
Ziarah
kubur itu sendiri adalah sunnah, bila sesuai dengan tata aturan syari’at Islam.
Di antaranya tidak menentukan waktu-waktu tertentu diulang pada waktu tertentu,
dengan acara tertentu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا. (رواه أَبُو
داود بإسنادٍ صحيح) .
“…
dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘id (hari raya, yakni tempat yang
selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat
tertentu)….” (HR ABU DAWUD –
1746 DENGAN SANAD SHAHIH).
Kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘id (hari
raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada
waktu dan saat tertentu, dengan upacara tertentu), maka mestinya kubur siapapun
tidak boleh juga . Kalau sekadar diziarahi dan sesuai syari’at Islam, tentu
tidak apa-apa. Bahkan bila benar-benar sesuai dengan syari’at Islam pelaksanaan
ziarah kuburnya, justru sunnah dan mengandung hikmah di antaranya untuk
mengingat akherat. Namun ketika kebanyakan orang berziarah kubur itu setiap
menjelang Puasa Ramadhan, maka perlu dilihat lagi hadits tersebut. Dan
tampaknya apa yang dilakukan ramai-ramai banyak orang itu tidak cocok.
Ketika
dicocokkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok, maka
perlu dicari sebenarnya dari mana asalnya kebiasaan tiap tahun itu, dan dianggapnya
dari Islam itu?
Doktor
filsafat lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini menjadi pengajar di
Universitas Negeri Yogyakarta, Purwadi, mengatakan, tradisi ziarah makam sudah
sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Ziarah
ke makam wali, kata Purwadi, merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme
bernama upacara srada. Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, raja yang memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14.
Srada
adalah upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada
itulah, masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam
leluhur. Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Jadi, ziarah
makam ini adalah bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam. (kompas cetak,
Selasa, 18 Agustus 2009 | 12:00 WIB, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam
buku Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2011, halaman 280-281).
Dari
segi lafalnya, ziarah kubur adalah dari Islam. Sedang sadranan atau nyadran
dari lafal sadra yang maksudnya upacara Hindu untuk memuliakan leluhur yang
sudah meninggal, berasal dari upacara Agama Hindu setiap menjelang puasa.
Itu satu sisi.
Dari
sisi tidak bolehnya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan ‘ied,
tempat yang dikunjungi dengan acara tertentu dan secara berulang pada waktu
tertentu, mestinya Ummat Islam lebih mentaati Nabinya daripada ibadahnya orang
kafir musyrik lalu dibungkus seolah islami. Kenapa demikian? Karena Allah
Ta’ala telah menegaskan:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (QS AL-AHZAB/ 33:
36).
Ketegasan
Allah Ta’ala sedemikian jelas. Sehingga kita tidak dibolehkan ada pilihan
lain-lain lagi di luar keputusan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Langganan:
Postingan
(Atom)