Sekapur Sirih

Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.

When I'm not working, I'm blogging :-)

Follow Me

Subscribeto blog
Follow me onTwitter
Add myFacebook

Pengikut

Copyright


© 2014 by Mukti Yulianto.

Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.

Sabtu, 26 Januari 2013


Cita-cita dan Kontribusiku sebagai Farmasis Masa Depan untuk Keluargaku, Almamaterku, Bangsaku dan Agamaku


By: Mukti Tri Yulianto

Mahasiswa Farmasi UII 2009


Farmasi adalah salah satu bidang ilmu kesehatan yang menjurus pada keahlian membuat, menyediakan obat sampai pada pelayanan obat dan informasi kepada pasien atau masyarakat. Farnasi merupakan suatu wadah bagi mereka yang ingin ikut serta dalam memberikan pelayanan dan membuat masyarakat hidup dalam arti kesehatan. Menjadi Farmasis atau sebutan untuk lulusan Sarjana Farmasi tidak lah semudah membalikkan tangan dan tidak semudah mempelajari sebuah pelajaran. Ketelitian dalam menggali setiap ilmu dan mempelajarinya secara matang sangat diharuskan dalam farmasi. Ini terkait bahwa Seorang Farmasis akan memberikan pelayanan terhadap hidup dan mati pasien. JIka terdapat kesalahan dalam setiap pelayanan kefarmasian maka bias berakibatkan fatal atau sering disebut mal-praktek.


Dewasa ini dunia kefarmasian dari awalnya yang beroientasi pada drug-oriented sekarang berubah atau mengarah pada patient-oriented. Maksudnya adalah seorang farmasis dituntut untuk lebih berperan aktif pada pelayanan kefarmasian langsung kepada pasien berupa konseling dan informasi lainnya terkait dunia kesehatan. Jadi selain menguasai bidang pembuatan obat, farmasis juga harus menguasai ilmu konseling atau pelayanan kefarmasian seperti pemberian obat, informasi obat sampai memastikan pasien bias menggunakan obat dengan obat sehingga terjadi keefektifan antara farmasis dengan pasien. Ini dibuktikan pada Negara maju seperti USA dan Inggris bahwa di Negara itu berkat pelayanan farmasis nya terhadap pasien dengan baik dan benar hamper warganya keseluruhan dikatakan sehat. Ini membuat nilai plus dari masyarakat kepada para farmasis yang secara professional bias melayani dengan bagus.


Di Inonesia, pelayanan informasi obat kepada pasien memang tergolong belum sehebat dinegara-negara lain. Namun, di DIY sendiri setidaknya sudah beberapa instansi kesehatan yang sudah melakukan dengan bagus.

Dulu, saya tak begitu mengerti apa itu farmasi dan seperti apa profesinya karena maklum selama hidup belum pernah bertemu dengan soerang farmasis walaupun mungkin tanpa sengaja sudah bertemu. Mungkin hamper sama dengan rekan-rekan angkatan yang lain dimana UII adalah pilihan kedua setelah pilihan pertama yaitu universitas negeri. Bicara masalah jurusan, bukan Farmasi yang menjadi tujuan saya pertama dan sebetulnya bingung mau menjelaskannya. 


“Terkadang kita harus membuat janji kepada “realitas” bahwa sebuah kenyataan tidak harus membuat masa depan untuk diri sendiri tapi untuk orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita”


Rabu, 23 Januari 2013

A.  LATAR BELAKANG SEJARAH

1.    Pondok Tegalsari
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

2. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah tempat terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, dll.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.

Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya setelah pudarnya masa kejayaan Pondok Gontor Lama.

B. PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR BERDIRI

KETIGA putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai Santoso tidak pernah berhenti berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan, pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu serta kesungguhan ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga putera itu untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345, di dalam peringatan Maulid Nabi, di hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.

1. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu program pendidikan anak-anak untuk masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor Baru, usaha ini telah dapat membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Para santri T.A. itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan dilangsungkan pada siang dan malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi oleh lampu batok (tempurung kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh Pondok yang memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama.
Pada usia tujuh tahun, siswa T.A. telah mencapai 500 orang putra dan putri. Fasilitas belajar-mengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan. Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun. Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah "Anshar Gontor", yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu para santri di dalam Pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.
Sabtu, 12 Januari 2013

Aku hidup di tahun 2070.
Aku berumur 50 tahun, tetapi kelihatan seperti sudah 85 tahun.
Aku mengalami banyak masalah kesehatan,
terutama masalah ginjal karena aku minum sangat sedikit air putih.
Aku fikir aku tidak akan hidup lama lagi.
Sekarang, aku adalah orang yang paling tua di lingkunganku
Aku teringat disaat aku berumur 5 tahun
Semua sangat berbeda.
Masih banyak pohon di hutan dan tanaman hijau di sekitar,
setiap rumah punya halaman dan taman yang indah, dan aku sangat suka bermain air dan mandi sepuasnya.


 Sekarang, kami harus membersihkan diri hanya dengan handuk sekali pakai yang dibasahi dengan minyak mineral.
Sebelumnya, rambut yang indah adalah kebanggaan semua perempuan.
Sekarang, kami harus mencukur habis rambut untuk membersihkan kepala tanpa menggunakan air.
Sebelumnya, ayahku mencuci mobilnya dengan menyemprotkan air langsung dari keran ledeng.
Sekarang, anak-anak tidak percaya bahwa dulunya air bisa digunakan untuk apa saja.

Aku masih ingat seringkali ada pesan yang mengatakan:
”JANGAN MEMBUANG BUANG AIR”
Tapi tak seorangpun memperhatikan pesan tersebut.
Orang beranggapan bahwa air tidak akan pernah habis karena persediaannya yang tidak terbatas.
 
 Sekarang, sungai, danau, bendungan dan air bawah tanah semuanya telah tercemar atau sama sekali kering.
Pemandangan sekitar yang terlihat hanyalah gurun-gurun pasir yang tandus.
Infeksi saluran pencernaan, kulit dan penyakit saluran kencing sekarang menjadi penyebab kematian nomor satu.
Industri mengalami kelumpuhan, tingkat pengangguran mencapai angka yang sangat dramatik. Pekerja hanya dibayar dengan segelas air minum per harinya.
Banyak orang menjarah air di tempat-tempat yang sepi.
80% makanan adalah makanan sintetis.
Sebelumnya, rekomendasi umum untuk menjaga kesehatan adalah minum sedikitnya 8 gelas air putih setiap hari.

Sekarang, aku hanya bisa minum setengah gelas air setiap hari.
Sejak air menjadi barang langka, kami tidak mencuci baju,
pakaian bekas pakai langsung dibuang,
yang kemudian menambah banyaknya jumlah sampah.
Kami menggunakan septic tank untuk buang air, seperti pada masa lampau,
karena tidak ada air.
 
 Manusia di jaman kami kelihatan menyedihkan: tubuh sangat lemah; kulit pecah-pecah akibat dehidrasi; ada banyak koreng dan luka akibat banyak terpapar sinar matahari karena lapisan ozon dan atmosfir bumi semakin habis.
Karena keringnya kulit, perempuan berusia 20 tahun kelihatan seperti telah berumur 40 tahun.
Para ilmuwan telah melakukan berbagai investigasi dan penelitian, tetapi tidak menemukan jalan keluar.
Manusia tidak bisa membuat air.
Sedikitnya jumlah pepohonan dan tumbuhan hijau membuat ketersediaan oksigen sangat berkurang, yang membuat turunnya kemampuan intelegensi generasi mendatang.
Morphology manusia mengalami perubahan…
 

 …yang menghasilkan anak-anak dengan berbagai masalah defisiensi, mutasi, dan malformasi.
Pemerintah bahkan membuat pajak atas udara yang kami hirup:
137 m3 per orang per hari.

[31,102 galon]
Bagi siapa yang tidak bisa membayar pajak ini akan dikeluarkan dari “kawasan ventilasi” yang dilengkapi dengan peralatan paru-paru mekanik raksasa bertenaga surya yang menyuplai oksigen.
Udara yang tersedia di dalam “kawasan ventilasi” tidak berkulitas baik, tetapi setidaknya menyediakan oksigen untuk bernafas.
Umur hidup manusia rata-rata adalah 35 tahun.
Beberapa negara yang masih memiliki pulau bervegetasi mempunyai sumber air sendiri. Kawasan ini dijaga dengan ketat oleh pasukan bersenjata.

Air menjadi barang yang sangat langka dan berharga, melebihi emas atau permata.
Disini ditempatku tidak ada lagi pohon karena sangat jarang turun hujan. Kalaupun hujan, itu adalah hujan asam.
Tidak dikenal lagi adanya musim. Perubahan iklim secara global terjadi di abad 20 akibat efek rumah kaca dan polusi.
Kami sebelumnya telah diperingatkan bahwa sangat penting untuk menjaga kelestarian alam, tetapi tidak ada yang peduli.
Pada saat anak perempuanku bertanya bagaimana keadaannya ketika aku masih muda dulu, aku menggambarkan bagaimana indahnya hutan dan alam sekitar yang masih hijau.
Aku menceritakan bagaimana indahnya hujan, bunga, asyiknya bermain air, memancing di sungai, dan bisa minum air sebanyak yang kita mau.
Aku menceritakan bagaimana sehatnya manusia pada masa itu.

Dia bertanya:
- Ayah! Mengapa tidak ada air lagi sekarang ?
Aku merasa seperti ada yang menyumbat tenggorokanku…
Aku tidak dapat menghilangkan perasaan bersalah, karena aku berasal dari generasi yang menghancurkan alam dan lingkungan dengan tidak mengindahkan secara serius pesan-pesan pelestarian… dan banyak orang lain juga!

Aku berasal dari generasi yang sebenarnya bisa merubah keadaan, tetapi tidak ada seorangpun yang melakukan.

Sekarang, anak dan keturunanku yang harus menerima akibatnya.

Sejujurnya, dengan situasi ini kehidupan di planet bumi tidak akan lama lagi punah, karena kehancuran alam akibat ulah manusia sudah mencapai titik akhir.
Aku berharap untuk bisa kembali ke masa lampau dan meyakinkan umat manusia untuk mengerti apa yang akan terjadi …

Pada saat itu masih ada kemungkinan dan waktu bagi kita untuk melakukan upaya menyelamatkan planet bumi ini!
  
ayoo sobat semua kita selamatkan bumi kita dengan 3M...
--> Mulai dari hal yang kecil
--> Mulai dari diri sendiri
--> Mulai saat ini


Agar anak cucu kita kelak tetap dapat menikmati indahnya alam ciptaanNya ini..serta tetap dapat menghirup segarnya Oksigen tanpa harus membayarnya.


kita syukuri anugerah Nya berupa alam yang lesatari ini dengan menjaganya,,maka Allah pun akan melipatkan nikmat Nya pada kita..

Salam lestari untuk seluruh Bumi dan Khatulistiwa...!!!!
Jumat, 04 Januari 2013
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar bodoh! bodoh!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)