Sekapur Sirih
Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.
When I'm not working, I'm blogging :-)
Categories
Pengikut
Copyright
© 2014 by Mukti Yulianto.
Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.
Minggu, 07 Oktober 2012
Definisi
Inflamasi merupakan respons protektif
setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera
maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena
terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan
terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau
yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga
menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada
jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda
(pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X
atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang
yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai
pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi
(kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai
oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel
darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel
jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya
perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai
dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran
darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan
kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar
granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan.
Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin,
bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi
hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi
(Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah
diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang
sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan
disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga
saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor
(panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda
pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa
(perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan
hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi
peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah
peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan
kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut
hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan
kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi
darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan
ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat
seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan
hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel
yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa
adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi
peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme
terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat
dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah
cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai
proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses
radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta
emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran,
2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi
arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter
prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi
meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya
anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras.
Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah
terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah
(hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah,
perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur
berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat
dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi
arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan
tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler
disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan
disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut.
Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang
berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan
anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan
(Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan
hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan
interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya
konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah
besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran
normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang
mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler
dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins
& Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang
ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali
mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.
Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang
memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya
tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang
meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan
emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).
Penimbunan sel-sel darah putih,
terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting
reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing,
termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat
di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel
darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu
menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan
sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk
agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum
fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam
aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi).
Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang
permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut
akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel
darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi
leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan
antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata
(Robbins & Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah,
leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih
yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi
disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh
faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit
paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi
lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit,
yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih.
Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau
eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi
radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat
pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang
khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi
oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri
yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit
sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang
dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada
selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum
menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom
dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi.
Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan
oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa
organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar,
1995).
2. Radang
kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai
inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan
terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan
penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan
perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar.
Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti
makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan
(meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell
& Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu
atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat
kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon
radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau
terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik
sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas
rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3
kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh
mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum,
dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur
(misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama
dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon
efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak
artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma
maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan
fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh
darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada
banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia
di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen
yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan
terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip,
tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai
mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa
mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang
memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu
inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis
(Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan
secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan.
Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang
diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat
digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease
plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam
arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan
limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang
berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995;
Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina
vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting
adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam granula sel jaringan
penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin
juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan
merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila
dilepaskan. Stimulus yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas
fisik (misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi
IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a
(disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin,
neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8)
(Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan
dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan
antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada
reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada
perannya dalam fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan
kemotaksis khas untuk eosinofil. Segera setelah dilepaskan oleh sel mast,
histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat
yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa
obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas
vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan
pada peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &
Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga
merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di
dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat,
dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada
binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi
perannya sebagai mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran,
2003; Robbins & Kumar, 1995).
2. Protease
plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon
radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem
kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal
oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik).
Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi
dalam bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit
teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight
kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian
mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar
pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell &
Cotran, 2003).
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya
menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang
berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein
ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari
prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti
halnya histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan
permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak
menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila
disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel
dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat
oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi
pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell &
Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Pada sistem pembekuan, rangsangan
sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang kemudian memecah
fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin
memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan
fibrinopeptida (selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas
vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi
pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme ini
terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian
melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus
terjadi sistem pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan
vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan
jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam
perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin,
merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran,
2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri
protein plasma yang berperan penting dalam imunitas maupun radang. Tahap
penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga
(C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang
tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau
melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin),
polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian
komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang
terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir
bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa
faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi
(Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Faktor yang berasal dari komplemen,
mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular,
kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin)
meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara
menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase
dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga
menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit,
eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat
pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan
fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada
permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).
a. Metabolit
asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak
tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari
asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai
komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid
melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau
fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam
arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan
enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit
asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah
inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur siklooksigenase menghasilkan
prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?,
PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2).
Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim
yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil
akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi
jaringan tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase
sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen
agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium
kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin
sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator
dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit
utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2
dan PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan
edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi
(Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur lipoksigenase merupakan jalur
yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat.
5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil.
Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam
5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat
yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam
5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah
menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah
leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4,
LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis
kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4,
dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur
lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri
tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4
dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4
yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan anti-
inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis
vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat
kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit
(Mitchell & Cotran, 2003).
b. Produk
leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam
neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini
dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan
vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan
permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom
menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase
yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).
Di dalam lisosom monosit dan makrofag
juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya
penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap
antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan
penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada
radang kronik (Robbins & Kumar).
c. Mediator
lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk
dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel.
Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan
permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion
superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat
tanpa enzim. Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins
& Kumar, 1995).
Aseter-PAF merupakan mediator lipid
yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit
ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga
dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular,
adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar,
1995).
Daftar
Pustaka
1. Dorland,
W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P.,
Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah).
Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
2. Rukmono
(1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK
UI.
3. Guyton, A.C.
& Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th
ed.) (Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku
asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D.
(1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson, Patofisiologi:
Konsep klinis proses-proses penyakit (4th
ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan
1992).
5. Mitchell,
R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th
ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
6. Robbins,
S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf
pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku
asli diterbitkan 1987).
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar