Sekapur Sirih
Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.
When I'm not working, I'm blogging :-)
Categories
Pengikut
Copyright
© 2014 by Mukti Yulianto.
Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.
Rabu, 23 Januari 2013
A. LATAR
BELAKANG SEJARAH
1.
Pondok
Tegalsari
Pada
paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan
Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang
10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan
sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah
pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam
sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman,
kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri
berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh
tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi
pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya
desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah
santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar
belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini
banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara
mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah,
negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II
atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito
(wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional
H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam
Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II
nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di
Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas
Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang
dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga
Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama
pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur
Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah
kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian
Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa
Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan
dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala
penguasa di semesta alam.
Berkat
keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan
bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api
pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai
balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya.
Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng
Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka
atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar
pajak kepada kerajaan.
Setelah
Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau
yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai
Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom.
Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi,
dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau
pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah,
pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat
menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu
Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat
dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri
Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu
oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai
untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya
memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan
pesantren sendiri di desa Gontor.
2. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah tempat terletak
lebih kurang 3 KM sebelah timur Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota
Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak
didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para
perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, dll.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman
Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti
Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka
berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok
Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit
dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti
waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju
sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad
menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam
berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya.
Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT. Dengan
wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna.
Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk
mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso
beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana
dan Masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak
hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras
mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya,
yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun
kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan
lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima),
Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya,
Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor
di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam
masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari
dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa
Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan
pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan
anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat
(menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan
sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan
para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi
kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya setelah pudarnya masa kejayaan
Pondok Gontor Lama.
B. PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR BERDIRI
KETIGA putera Ibu Nyai Santoso yang
dikirimkan ke beberapa lembaga pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai
Santoso tidak pernah berhenti berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu
kelak dapat menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu.
Berkat pendidikan, pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu
serta kesungguhan ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga
putera itu untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926
bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345, di dalam peringatan Maulid Nabi, di
hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan
kembali Pondok Gontor.
1. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926.
Langkah pertama untuk menghidupkan
kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu
program pendidikan anak-anak untuk masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan
sarana pendidikannya sangat sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal
seadanya. Tetapi dengan kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan
pengasuh Gontor Baru, usaha ini telah dapat membangkitkan kembali semangat
belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun pada berikutnya tidak hanya
diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut belajar di tempat ini. Peserta
didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor, tetapi juga
masyarakat desa sekitar.
Para santri T.A. itu dididik
langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan
beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan dilangsungkan pada siang dan
malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah pepohonan di alam terbuka,
sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi oleh lampu batok (tempurung
kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan
beliau, pada tiga tahun pertama para santri yang belajar di Pondok Gontor telah
mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa dipungut biaya apapun. Bahkan tidak
jarang pengasuh Pondok yang memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Pada
prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran
siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama.
Pada usia tujuh tahun, siswa T.A.
telah mencapai 500 orang putra dan putri. Fasilitas belajar-mengajar belum
mencukupi sehingga mereka belajar di rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di
alam terbuka di bawah pepohonan. Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas
semakin menguat, tetapi dana tidak ada, karena selama sepuluh tahun pertama
siswa tidak dipungut bayaran apapun. Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan
dibentuklah "Anshar Gontor", yaitu orang-orang yang bertugas mencari
dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu para santri di dalam Pondok juga
dilibatkan dalam pembuatan batu merah.
Tarbiyatul Athfal terus berkembang
seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah
berjalan beberapa tahun, didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di
desa-desa sekitar Gontor. Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa
sekitar Gontor itu ditangani oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus
melalui kursus pengkaderan. Di samping membantu pendirian madrasah-madrasah TA
tersebut, mutu TA di Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki
kemampuan yang memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa TA cabang yang
ada. Untuk itu dibukalah jenjang pendidikan di atas TA yang diberi nama
Sullamul Muta’allimin.
2. Pembukaan Sullamul Muta’allimin, 1932.
Dengan semakin banyaknya siswa yang
menyelesaikan pendidikan di TA dan adanya minat yang tinggi dari masyarakat
untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut, pada tahun 1932 Pengasuh Pondok
Gontor membuka program lanjutan dari Tarbiyatul Athfal yang diberi nama
"Sullamul Muta’allimin". Pada tingkatan ini para santri diajari
secara lebih dalam dan luas pelajaran fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an,
cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk
menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di samping itu mereka juga
diajari ketrampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain.
Kegiatan ekstra kurikuler mendapat
perhatian luar biasa dari pengasuh Pondok, sehingga setelah tiga tahun
berdirinya Sullamul Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan
barisan pemuda, antara lain:
a. Tarbiyatul
Ikhwan (Organisasi Pemuda)
b. Tarbiyatul
Mar’ah (Organisasi Pemudi)
c. Muballighin
(Organisasi Juru Dakwah)
d. Bintang
Islam (Gerakan Kepanduan)
e. Ri-Ba-Ta,
yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga)
f. Miftahussa’adah
dengan "Mardi Kasampurnaan".
g. Klub Seni
Suara, dan
h. Klub
Teater.
Usaha Pengasuh Pondok untuk
membangkitkan gairah masyarakat Gontor dan sekitarnya sudah tampak membuahkan
hasil. Madrasah-madrasah yang menjadi cabang TA sudah banyak berdiri di
desa-desa sekitar Gontor. Para murid dan alumni TA dan Sullamul Muta’allimin Gontor
menjadi tulang punggung dari berlangsungnya proses belajar mengajar di
madrasah-madrasah itu. Mengingat banyak madrasah Tarbiyatul Athfal yang telah
dibuka, maka dibentuklah sebuah wadah yang menggabungkan seluruh TA itu, yaitu
Taman Perguruan Islam (TPI) yang dipimpin langsung oleh Pak Sahal. Menjelang
usia 10 tahun pembukaan kembali Gontor, TPI telah mempunyai murid lebih dari
1000.
3. Pembukaan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI),
1936.
Pondok Gontor yang telah dibuka
kembali terus berkembang. Kehadiran TA telah membawa angin segar yang menggugah
minat belajar masyarakat. Program pendidikan di TA pun berkembang. Jika pada
awalnya TA hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari
mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat
mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak
para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor.
Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup
menggembirakan hati pengasuh pesantren yang baru dibuka kembali ini. Banyak
sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali
dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra
pada tahun 1935. Beliau mulai ikut membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru
ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan Peringatan atau "Kesyukuran 10
Tahun Pondok Gontor". Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin
sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat
menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin
al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936.
Program pendidikan baru ini ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya
pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat
Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula
tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu
Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang
kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya
Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah
(KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan
Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang
pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan
pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren
pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri
tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan
pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan
umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan,
kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan
kehidupan santri di Pondok.
Pada tahun pertama pembukaan program
ini, sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan
ejekan yang dialamatkan kepada program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem
pendidikan semacam yang diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat
asing. Sistem belajar secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang
tidak umum dipakai di pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri
memakai celana panjang dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, dan bahkan juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab
Bahasa Arab adalah bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda
adalah bahasa orang kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan
baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor
yang sebelumnya berjumlah ratusan kini hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini
tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar
bertekad dan berucap: "Biarpun tinggal satu saja dari yang 16 orang ini,
program akan tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu itulah
nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang." Bahkan suatu saat
Pak Zar pernah berujar: "Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan
cara ini, saya akan mengajar dengan pena." Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu
berdoa: "Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai Pondok saya
ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan
urusan ini."
Allah rupanya mendengar doa dan
tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua, mulai datang para santri dari
Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai
oleh kehadiran para santri yang semakin banyak.
Akhirnya, setelah tiga tahun
berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para santri dari berbagai kota dan pulau
dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Ada yang sudah baik pengetahuan
agamanya tetapi lemah dalam pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya.
Untuk mengatasi persoalan ini dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka,
yaitu Voorklas atau Kelas Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun,
pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi
bernama Bovenbow. Jumlah santri yang semakin banyak dan pembukaan kelas baru
ini menimbulkan persoalan baru, yaitu terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi
demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun
pada tahun kelima datanglah seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap
berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk
murid-murid kelas I tingkat atas, atau kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun,
pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi sebagai berikut :
a. Program Onderbow, lama belajar 3
tahun.
b. Program Bovenbow, lama belajar 2
tahun.
4. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku"
Tahun ke-5 berdirinya KMI merupakan
tahun bersejarah bagi Pondok Modern Darussalam Gontor dengan terciptanya
"Hymne Oh Pondokku." Lagu hymne ini diciptakan R. Mu’in dan liriknya
diciptakan Husnul Haq, keduanya guru KMI.
5. Peringatan 15 Tahun
Pada tanggal 1-10 Januari 1942,
Pondok Modern Darussalam Gontor mengadakan Peringatan 15 Tahun Berdirinya
Pondok yang disebut Fijftien Jarige Jubelium. Tujuan peringatan ini adalah
mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai. Semula Peringatan ini akan
diadakan tahun 1941, tetapi karena situasi tidak aman dengan pecahnya Perang
Dunia II, Peringatan tersebut diundur hingga tahun 1942.
6. Masa Penjajahan Jepang
Dengan berkecamuknya perang
Belanda-Jepang untuk memperebutkan Indonesia, terputuslah jalur komunikasi luar
Jawa dengan Jawa. Akibatnya santri Gontor yang berasal dari luar Jawa tidak
mendapatkan kiriman dari orang tua mereka. Untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari, Pengasuh dan Direktur menjual kekayaan pribadi mereka. Usaha
inipun masih belum bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari santri, maka
didirikanlah Dapur Umum dan dibentuk pengurusnya yang disebut UPPIPOM (Usaha
Penolong Pelajar Islam Pondok Modern) yang bertugas mencari dana bagi
kepentingan para santri.
Tahun 1943/1944 dengan propaganda
perang suci "Perang Asia Timur Raya", Jepang mewajibkan pemuda ikut
perang, maka sekolah-sekolah harus ditutup, termasuk KMI Pondok Modern
Darussalam Gontor. Namun lembaga pendidikan yang bernama pondok pesantren
dibiarkan tetap hidup. Karena itu pembelajaran di KMI dilaksanakan di dalam
kamar para santri secara sembunyi-sembunyi. Dengan cara demikian Pondok Modern
Darussalam Gontor tidak dikategorikan sebagai sekolah, sehingga tidak wajib
ditutup.
7. Perang Merebut Kemerdekaan
Pada saat perang merebut kemerdekaan
negeri ini, santri Gontor banyak yang terlibat. Mereka masuk dalam pasukan
Hizbullah dan Sabilillah. Setelah perang agak reda, 1946, Presiden Pertama
Republik Indonesia, Ir. Soekarno, berkunjung ke Pondok Modern Darussalam
Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor tinggal belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan,
program KMI mulai ditata kembali. Pada 1947 organisasi pelajar Roudlatul
Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII (Pelajar Islam Indonesia) yang saat
itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih karena ia tidak berafiliasi kepada satu
parpol atau golongan tertentu, sesuai dengan prinsip Gontor Berdiri di atas dan
untuk semua golongan.
8. Pemberontakan PKI 1948
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam
Gontor diguncang oleh pemberontakan PKI pimpinan Muso yang dikenal dengan
sebutan “Madiun Affair”. Pada saat itu Pondok terpaksa dikosongkan. Sejumlah
200 santri secara bergelombang meninggalkan Pondok untuk menyusun taktik
perlawanan dan gelombang terakhir diikuti oleh pengasuh dan direktur mereka.
Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang Indonesia. Pondok lagi-lagi
terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut bergerilya mengangkat senjata
bergabung dengan Corp Pelajar.
9. Pembentukan IKPM
Jumlah alumni KMI Pondok Modern
Darussalam Gontor mulai banyak, mereka tersebar di masyarakat dan bergerak
dalam berbagai bidang kegiatan. Para alumni itu kemudian dihimpun dalam suatu
wadah persaudaraan yang disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM).
Organisasi alumni Gontor ini lahir tanggal 17 Desember 1949 di tengah
berlangsungnya Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta. Pengikraran secara resmi
IKPM dilakukan pada Peringatan Seperempat Abad Pondok Modern, 29 Oktober 1951.
10. Peringatan Seperempat Abad
Peringatan Seperembat Abad Pondok
(27 Oktober – 4 November 1951) dilaksanakan secara meriah dengan rentetan acara
bermacam-macam. Pada pembukaan acara tersebut Pak Sahal menyampaikan sambutan
di antaranya berisi ikrar bahwa Pondok Modern Darussalam Gontor adalah Milik
Ummat Islam Seluruh Dunia, karena itu maju mundurnya Pondok diserahkan kepada
ummat Islam.
11. Peringatan Empat Windu dan Pewakafan Pondok
Momen bersejarah bagi terwujudnya
niat mewakafkan Pondok kepada Ummat Islam terjadi pada Peringatan Empat Windu
Pondok Modern Darussalam Gontor, 11-17 Oktober 1958. Pada saat itu, 12 Oktober
1958, Trimurti (K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam
Zarkarsyi) sebagai pendiri Pondok mewakafkan Pondok Modern Darussalam Gontor
kepada IKPM yang diwakili oleh 15 orang. Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor
ketika itu terdiri dari tanah kering seluas 1,740 ha (Kampus Pondok), tanah
basah seluas 16,851 ha, dan gedung sebanyak 12 buah; Masjid, Madrasah,
Indonesia I, Indonesia II, Indonesia III, Tunis, Gedung Baru, Abadi, Asia Baru,
PSA, BPPM, dan Darul Kutub.
12. Pembentukan YPPWPM
Untuk memelihara dan mengembangkan
kekayaan yang diwakafkan ini dan untuk menangani berbagai persoalan berkaitan
dengan pendanaan Pondok Modern, didirikanlah Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan
Wakaf Pondok Modern (YPPWPM), tanggal 18 Maret 1959.
13. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren
Setelah seperempat abad KMI berdiri
dibukalah Perguruan Tinggi di Gontor dengan nama Perguruan Tinggi Darussalam
(PTD), tanggal 17 Nopember 1963. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi
Institut Pendidikan Darussalam (IPD) yang selanjutnya berganti menjadi Institut
Studi Islam Darussalam (ISID). Saat ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas
Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dan Pengajaran Bahasa Arab,
Fakultas Ushuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama dan Akidah dan Pemikiran
Islam (Filsafat), dan Fakultas Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan
Hukum dan jurusan Ekonomi Islam. Sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus
tersendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.
14. Peringatan Lima Windu dan Persemar
Pada Tahun 1967 diadakan Peringatan
Lima Windu Pondok Modern Darussalam Gontor. Di antara acara penting dalam
peringatan ini adalah wisuda perdana sarjana Perguruan Tinggi Darussalam. Pada
tahun ini juga terjadi tragedi yang disebut Persemar (Peristiwa Sembilan belas
Maret). Sekelompok guru dan santri yang terprovokasi berusaha mengubah haluan
Pondok dengan ide yang mereka sebut sendiri sebagai ide gila. Mereka berniat
membunuh dan menyingkirkan pendiri dan sekaligus Pimpinan Pondok, kemudian
memilih pimpinan yang mereka kehendaki dari para tokoh pembuat makar itu. Rupanya
Allah tidak meridho’i usaha mereka dan mereka pun gagal.
Persemar tampaknya menjadi pupuk
bagi perjalanan sejarah Pondok kemudian. Setelah peristiwa itu Pondok
berkembang dengan pesat dan minat masyarakat untuk belajar di Gontor semakin
tinggi.
15. Kesyukuran Setengah Abad dan Peresmian Masjid Jami’
Pesatnya perkembangan Pondok ini
kemudian disyukuri dengan Perayaan Kesyukuran Setangah Abad, berlangsung
tanggal 2-4 Maret 1978. Acara ini dihadiri oleh Presiden R.I. Soeharto yang
sekaligus meresmikan Masji Jami’ Pondok.
16. Trimurti Wafat
Tahun 1967 K.H. Zainuddin Fanani,
salah seorang dari Trimurti Pendiri Pondok wafat. Kemudian disusul oleh K.H.
Ahmad Sahal yang wafat tahun 1977. Delapan tahun berikutnya, 1985, K.H. Imam
Zarkasyi pun pergi menghadap Ilahi menyusul kedua kakaknya. Sepeninggal
Trimurti tongkat estafet kepemimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
diserahkan kepada generasi kedua.[]
C. RA GENERASI KEDUA
DALAM sidang pertamanya, sepeninggal
Trimurti, Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor menetapkan tiga Pimpinan
Pondok untuk memimpin Gontor paska Trimurti. Ketiga Pimpinan itu adalah K.H.
Shoiman Luqmanul Hakim, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., dan K.H. Hasan
Abdullah Sahal. Untuk menangani KMI, Badan Wakaf menetapkan K.H. Imam Badri
sebagai Direktur KMI. Awal kepemimpinan Generasi Kedua diliputi oleh
kekhawatiran dan keraguan akan nasib Pondok Modern Darussalam Gontor
sepeninggal Generasi Pertama. Tetapi berkat tekad yang bulat, niat yang mantap,
dan perjuangan yang tak kenal menyerah; dengan semboyan "Labuh bondo,
bahu, pikir, lek perlu sak nyawane" serta tawakkal kepada Allah SWT;
Generasi Kedua berhasil melalui segala ujian dan rintangan untuk
mempertahankan, mengembangkan, dan memajukan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Pimpinan Pondok dari Generasi Kedua
ini; baik fisik maupun non fisik.
1. Pembentukan PLMPM
Salah satu orientasi pendidikan di
Pondok Modern Darussalam Gontor adalah kemasyarakatan. Para santri dicetak
untuk menjadi pejuang Islam yang mandiri di masyarakat. Kenyataannya,
perkembangan iptek dan meluasnya informasi di segala sektor kehidupan
menimbulkan perubahan sosial yang cepat di masyarakat, sehingga menimbulkan
jarak antara kesiapan individu santri dengan tuntutan lingkungannya.
Perkembangan dan perubahan zaman ini telah diantisipasi oleh Pondok melalui
berbagai cara dan program. Di antaranya adalah dengan mendirikan Pusat Latihan
Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM), tahun 1988, yang dirancang
khusus bagi alumni KMI dan ISID yang memang betul-betul akan terjun langsung ke
masyarakat. Di lembaga ini para alumni itu diberi bekal tambahan untuk
menyempurnakan dan mempercepat karya mereka di masyarakat.
2. Pembukaan Pesantren Putri
Di antara wujud kemajuan yang dicapai
Generasi Kedua adalah keberhasilannya merealisasikan amanat Trimurti dan
melaksanakan Keputusan Badan Wakaf untuk mendirikan Pesantren Putri. Pesantren
yang didirikan di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur ini dibuka secara
resmi tanggal 31 Mei 1990 oleh Menteri Agama R.I. Munawwir Syadzali dengan
didampingi oleh Duta Besar Mesir untuk Indonesia.
3. Peringatan Delapan Windu
Perkembangan dan kemajuan ini
kemudian disyukuri dengan mengadakan Peringatan Delapan Windu yang berlangsung
tanggal 3 Juni-20 Juli 1991. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan
dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, para cendekiawan dan
akademisi, para kyai pimpinan pondok pesantren, para pejabat tinggi pemerintah
baik sipil maupun militer, dan para duta besar perwakilan negara-negara
sahabat. Hampir seluruh pimpinan Ormas Islam ikut hadir dalam acara ini, dan
pada acara puncak Peringatan ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Sudharmono,
S.H. beserta rombongan.
4. Peringatan 70 Tahun
Enam tahun kemudian, 1997, Pondok
menyelenggarakan Peringatan 70 Tahun. Acara ini berlangsung sukses meskipun
tidak semeriah Peringatan Delapan Windu. Puncak acara ini dihadiri oleh Wakil
Presiden RI Try Sutrisno beserta beberapa pejabat tinggi negara lainnya.
5 . Pendirian Pondok-Pondok Cabang
Mengingat tingginya animo masyarakat
untuk memasukkan anaknya di Gontor dan keterbatasan fasilitas yang tersedia di
Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor serta untuk memberikan bekal yang lebih
baik kepada para calon santri yang ingin masuk di Pondok Modern Darussalam
Gontor, dibukalah cabang-cabang Gontor di beberapa tempat: Pondok Modern
Darussalam Gontor II, di Madusari, Siman, Ponorogo, tahun 1996; Pondok Modern
Darussalam Gontor III "Darul Makrifat" di Sumbercangkring, Gurah,
Kediri, tahun 1993; Pondok Modern Darussalam Gontor IV, yaitu Pesantren Putri
Gontor di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, tahun 1990; Pondok Modern Darussalam
Gontor V "Darul Muttaqin" di Kaligung, Rogojampi, Banyuwangi, tahun
1990; Pondok Modern Darussalam Gontor VI "Darul Qiyam" di Gadingsari,
Mangunsari, Sawangan, Magelang, tahun 1999; dan Pondok Modern Darussalam Gontor
VII “Riyadlatul Mujahidin”, di Podahua, Landono, Sulawesi Tenggara, tahun 2002.
Di samping itu juga dibu Pondok Modern Darussalam Gontor Putri II pada tahun
1997 dan Pondok Modern Darussalam Gontor Putri III pada tahun 2002.
6. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua
Pada awal tahun 1999, suasana duka
menyelimuti Pondok Modern Darussalam Gontor; K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, salah
seorang Pimpinan Pondok, pulang ke rahmatullah. Untuk menggantikan posisi
beliau sebagai Pimpinan Pondok, Badan Wakaf menunjuk K.H. Imam Badri.
7 . Pendirian Gontor VI Darul Qiyam Magelang
Pondok Modern Darussalam Gontor
mendapat wakaf tanah 2,3 hektar beserta 1 masjid dan 1 Unit rumah dari Hj.
Qayyumi, istri dari bapak KH. Kafrawi Ridwan, MA, di dusun Gadingsari desa
Mangunsari kecamatan Sawangan kabupaten Magelang. Berdasarkan keputusan Badan
Wakaf yang ke-46, didirikanlah Gontor VI di atas lokasi tanah wakaf tersebut.
Pada tanggal 22 Februari 2000, dibuka secara resmi Kulliyatul Mu'allimin
Al-Islamiyah "Darul Qiyam" Magelang oleh DIRJEN BIMBAGA ISLAM DEPAG
RI, Dr. H. Marwan Saridjo.
8. Kampus Gontor Putri II
Pada tanggal 5 Muharram 1422/ 1
April 2001 mulai dibangun kampus Gontor Putri II. Sejak tahun1997 Gontor Putri
II masih menjadi satu dengan Kampus Gontor Putri I. Kampus Gontor Putri II
berlokasi di sebelah barat kampus Gontor putri I, di atas tanah seluas 10
hektar. Secara simbolis penggunaan kampus Gontor Putri II diresmikan oleh
presiden RI Megawati Soekarno Putri pada tanggal 14 Februari 2002, ketika
berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo.
9. Gontor Buka Cabang di Kendari
Pada tanggal 24 Rabiul Tsani 1423 /
5 Juli 2002 di Kendari diadakan kesepakatan bersama antara pemerintah Propinsi
Sulawesi Tenggara sebagai pihak I yang diwakili oleh Gubernur Sulawesi
Tenggara, Drs. H. La Ode Kamaimoedin dengan Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo Jawa Timur sebagai pihak ke II yang diwakili oleh KH. Abdullah Syukri
Zarkasyi, MA, tentang; pendirian dan pengelolaan Pondok Modern Darussalam
Gontor VII "Riyadatul Mujahidin" Pudahoa, Landono, Kendari, di atas
tanah seluas 1000 hektar milik pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk
selanjutnya pengelolaan dan tanggungjawab serta peningkatan mutu Pondok Modern
Darussalam Gontor VII Riyadatul Mujahidin sepenuhnya menjadi tanggungjawab
Pondok Modern Darussalam Gontor
10. Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu
Setiap tahun jumlah calon pelajar
yang hendak belajar di Pondok Gontor Putri kian bertambah, sehingga 2 kampus
yang telah disediakan itu dianggap tidak lagi dapat menampung mereka. Maka pada
awal bulan Oktober 2002, telah dimulai pembangunan kampus Gontor Putri III di
Desa Karangbanyu Kec. Widodaren, di atas tanah seluas 10 hektar. Pada tahun
ajaran 1423/2003 ini, Pondok Gontor Putri III telah melahirkan alumni
perdananya.[]
D. GAGASAN DAN CITA-CITA
Apakah gagasan dan cita-cita para
pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo sehingga mempunyai tekad yang
begitu besar? Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan ummat
Islam dalan mencari ridha Allah. Tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita
itu adalah Pondok Pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya
pada masa nenek moyang mereka tatapi pada saat itu telah mati.
Pendidikan pondok pesantren adalah
model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara
Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami
kemajuan dan perkembangan, sedangkan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia
karena situasi penjajahan dan lain-lain belum mampu berkembang pesat
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya. Karena
itu pengembangan pondok pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca
perbandingan dari lembaga-lembaga Islam di luar negeri yang serupa dengan
sistem pendidikan pesantren. Para Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, pada
awal pembangunan Pondok Gontor Baru telah mengkaji berbagai lembaga pendidikan
terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok
pesantren. Di Mesir terdapat Universitas al-Azhar yang terkenal dengan
keabadiannya. Al-azhar bermula dari sebuah masjid yang didirikan oleh Penguasa
Mesir dari Daulah Fatimiyyah. Universitas ini telah hidup ratusan tahun dan
telah memiliki harta wakaf yang mampu memberi beasiswa kepada siswa dari
seluruh dunia. Di Mauritania terdapat Pondok Syanggit. Lembaga pendidikan ini
harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para pengasuhnya. Syanggit
adalah lembaga pendidikan yang dikelola dengan jiwa keikhlasan; para pengasuh
mendidik murid-murid siang-malam serta menanggung seluruh kebutuhan santri. Di
India terdapat Universitas Muslim Aligarh, sebuah lembaga pendidikan modern yang
membekali mahasiswanya dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta memjadi
pelopor revival of Islam. Di India juga terdapat perguruan Santiniketan,
didirikan oleh Rabindranath Tagore, seorang filosuf Hindu. Perguruan yang
dikenal dengan kedamaiannya ini berlokasi di kawasan hutan, serba sederhana dan
telah mampu mengajar dunia.
Keempat lembaga pendidikan tersebut
menjadi idaman para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, karena itu mereka
hendak mendirikan lembaga pendidikan yang merupakan sintesa dari empat lembaga
di atas .
Selain itu, gagasan untuk membangun
Gontor Baru dan gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh
peristiwa dalam Konggres Ummat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan
tahun 1926. Kongres itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia,
misalnya H.O.S.Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman
Amin, dan lain-lain.
Dalam kongres tersebut diputuskan
bahwa ummat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia
yang akan diselenggarakan di Makkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang
akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut
harus mahir sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta
kongres tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan
baik. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir
berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini
mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta konggres tersebut akan perlunya
mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria di atas .
Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari
kongres itu menjadi topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang
sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga yang akan dibina di kemudian hari
.
Selain itu, situasi masyarakat dan
lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide
mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending Kristen yang berasal
dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-guru yang pandai dan
cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta penguasaan ilmu
jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam belum
mampu menyamai kemajuan mereka. Diantara sebab ketidakmampuan itu adalah
kurangnya pendidikan Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap,
berilmu luas dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tanggung jawab untuk
memajukan masyarakat
Dari sisi lain, lembaga-lembaga
pendidikan yang ada pada saat itu sangat timpang, satu lembaga pendidikan
memberikan pelajaran umum saja dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama,
lembaga-lembaga pendidikan lain hanya mengajarkan ilmu agama dan
mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat
diperlukan oleh ummat Islam. Maka pondok pesantren yang akan dikembangkan itu
harus memperhatikan hal ini .
Situasi sosial dan politik bangsa
Indonesia berpengaruh pula pada pendidikan; banyak lembaga pendidikan yang
didirikan oleh partai-partai dan golongan-golongan politik. Dalam lembaga
pemdidikan itu ditanamkan pelajaran tentang partai atau golongan. Sehingga
timbul fanatisme golongan. Sedangkan para pemimpinnya terpecah karena masuknya
benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan
itu harus dibebaskan dari kepentingan golongan atau partai politik tertentu,
dan “berdiri di atas dan untuk semua golongan".
Tidak dapat disangkal bahwa ummat
Islam Indonesia, juga ummat Islam di seluruh dunia, terbagi ke dalam berbagai
suku, bangsa, negara, dan bahasa; mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran
paham agama; mereka juga terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan
gerakan baik dalam bidang politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun yang lain.
Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor pengkategori yang beragam. Tetapi,
harus tetap disadari bahwa kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak.
Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar
pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan
perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan
kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang
sebenarnya adalah Islam itu sendiri; ummat Islam seluruhnya adalah bersaudara
dalam satu ukhuwwah diniyyah.
Bangsa ini terus berkembang dan
semua itu menjadi perhatian, pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok
Modern Darussalam Gontor. Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern
Darussalam Gontor berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke
waktu. Ketiga pendiri yang memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda itu
saling mengisi dan melengkapi, sehingga Balai Pendidikan Pondok Modern
Darussalam Gontor menjadi seperti sekarang ini.
Namun semua yang ada saat ini belum
mencerminkan seluruh gagasan dan cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu
adalah tugas generasi penerus untuk memelihara, mengembangkan dan memajukan
lembaga pendidikan ini demi tercapainya cita-cita para pendirinya.[]
E. PANCA JIWA PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR
SELURUH kehidupan di Pondok Moderm
Gontor didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat
disimpulkan dalam Panca Jiwa sebagai berikut;
1.Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini berarti sepi ing pamrih,
yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan
keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk
ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam
membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.
Jiwa ini menciptakan suasana
kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat,
cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di
jalan Allah, di manapun dan kapanpun.
2.Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pondok diliputi oleh
suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga
berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat
nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam
menghadapi perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan ini terpancar
jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di
sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat
bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .
3.Jiwa Berdikari
Berdikari atau kesanggupan menolong
diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para
santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan
berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu
sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak
pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .
Inilah Zelp berdruiping
systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada
itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak
membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan
para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok .
4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah
Kehidupan di pondok pesantren
diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka
dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah. Tidak ada dinding yang dapat
memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi
juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka
terjun di masyarakat.
5. Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat,
bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan
bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan
menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan.
Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu
apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan
berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Sebaliknya, ada pula yang terlalu
bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang
dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak
hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas
karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus
dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan
penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri,
maupun dalam kehidupan masyarakat.
Jiwa yang meliputi suasana kehidupan
Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam
kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan
dengan sebaik-baiknya.
F. PANCA JANGKA PONDOK MODERN
Dalam rangka mengembangkan dan
memajukan Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor, dirumuskanlah Panca
Jangka yang merupakan program kerja Pondok yang memberikan arah dan panduan
untuk mewujudkan upaya pengembangan dan pemajuan tersebut. Adapun Panca Jangka
itu meliputi bidang-bidang berikut :
1. Pendidikan dan Pengajaran
Maksud jangka ini adalah berusaha
secara maksimal untuk meningkatkan dan menyempurnakan pendidikan dan pengajaran
di Pondok Modern Darussalam Gontor. Usaha ini tercatat dalam sejarah perjalanan
Pondok ini yang dimulai dengan pendirian Tarbiyatul Athfal pada tahun 1926,
Sullamul Muta’allimin tahun 1932. Sepuluh tahun kemudian, 1936, didirikan
Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah
(Tsanawiyah dan Aliyah). Pada tahun 1963 didirikanlah Perguruan Tinggi yang
bernama Institut Pendidikan Darussalam (sekarang bernama : Institut Studi Islam
Darussalam). Adapun cita-cita selanjutnya adalah mendirikan Universitas Islam
Darussalam, sebagaimana tertulis dalam Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern
Darussalam Gontor.
2. Kaderisasi
Sejarah timbul dan tenggelamnya
suatu usaha, terutama hidup dan matinya pondok-pondok di tanah air, memberikan
pelajaran kepada para pendiri Pondok tentang pentingnya perhatian terhadap
kaderisasi. Sudah banyak riwayat tentang pondok-pondok yang maju dan terkenal
pada suatu ketika, tetapi kemudian menjadi mundur dan bahkan mati setelah
pendiri atau kyai pondok itu meninggal dunia. Di antara faktor terpenting yang
menyebabkan kemunduran ataupun matinya pondok-pondok tersebut adalah tidak
adanya program kaderisasi yang baik.
Bercermin pada kenyataan ini, Pondok
Modern Darussalam Gontor memberikan perhatian terhadap upaya menyiapkan kader
yang akan melanjutkan cita-cita Pondok.
3. Pergedungan
Jangka ini memberikan perhatian
kepada upaya penyediaan prasarana dan sarana pendidikan dan pengajaran yang
layak bagi para santri.
4. Chizanatullah
Di antara syarat terpenting bagi
sebuah lembaga pendidikan agar tetap bertahan hidup dan berkembang adalah
memiliki sumber dana sendiri. Sebuah lembaga pendidikan yang hanya
menggantungkan hidupnya kepada bantuan pihak lain yang belum tentu didapat
tentu tidak dapat terjamin keberlangsungan hidupnya. Bahkan hidupnya akan
seperti ilalang di atas batu, “Hidup enggan, mati tak hendak”.
Di antara usaha yang telah dilakukan
untuk memenuhi maksud ini adalah membentuk suatu badan khusus yang mengurusi
dana, bernama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Badan Wakaf Pondok Modern
(YPPWPM). Yayasan ini mengurusi dan mengembangkan harta wakaf milik pondok.
5. Kesejahteraan Keluarga Pondok
Jangka ini bertujuan untuk
memberdayakan kehidupan keluarga-keluarga yang membantu dan bertanggungjawab
terhadap hidup dan matinya Pondok secara langsung, sehingga mereka itu tidak
menggantungkan penghidupannya kepada Pondok. Mereka itu hendaknya dapat memberi
penghidupan kepada Pondok. Sesuai dengan semboyan : "Hidupilah Pondok dan
jangan menggantungkan hidup kepada Pondok".
G. MOTTO PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR
Pendidikan Pondok Modern Darussalam
Gontor menekankan pada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinggi,
berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Kriteria atau
sifat-sifat utama ini merupakan motto pendidikan di Pondok Modern Darussalam
Gontor.
1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan
paling utama yang ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam
semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi
penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain
yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok ini. Dengan tubuh yang sehat
para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan
olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
3. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok ini dididik
melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas
wawasan dan pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih
dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang
pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas,
tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu
untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.
4. Berpikiran Bebas
Berpikiran bebas tidaklah berarti
bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan
prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini
merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah
diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri
memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.[]
H. STRUKTUR ORGANISASI DI PONDOK MODERN DARUSSALAM
GONTOR
Lembaga tertinggi dalam organisasi
Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor ialah Badan Wakaf. Badan Wakaf
adalah semacam badan legislatif yang beranggotakan 15 orang, bertanggungjawab
atas segala pelaksanaan dan perkembangan pendidikan dan pengajaran di Pondok
Modern. Untuk tugas dan kewajiban keseharian amanat ini dijalankan oleh
Pimpinan Pondok.
Pimpinan Pondok Modern Darussalam
Gontor merupakan semacam badan eksekutif (setelah wafatnya para pendiri Pondok)
yang dipilih oleh Badan Wakaf setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian Pimpinan
Pondok adalah mandataris Badan Wakaf yang mendapatkan amanah untuk menjalankan
keputusan-keputusan Badan Wakaf dan bertanggungjawab kepada Badan Wakaf Pondok
Modern Darussalam Gontor. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, di samping
memimpin lembaga-lembaga dan bagian-bagian di Balai Pendidikan Pondok Modern
Darussalam Gontor, juga berkewajiban mengasuh para santri sesuai dengan sunnah
Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor. Adapun lembaga-lembaga dan
atau bagian-bagian yang dibawahi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
adalah sebagai berikut:
1. Lembaga perguruan menengah dengan
masa belajar 6 atau 4 tahun, setingkat Tsanawiyah dan Aliyah, bernama
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI)
2. Lembaga perguruan tinggi yang
disebut Institut Studi Islam Darussalam (ISID), mempunyai tiga fakultas:
Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Syari’ah.
3. Lembaga Pengasuhan Santri yang
mengurusi bidang pengasuhan santri khususnya bidang ekstra kurikuler. Lembaga
ini membawahi tiga organisasi santri:
a. Organisasi
Pelajar Pondok Modern (OPPM), yaitu organisasi siswa KMI
b. Koordinator
Gugusdepan Pondok Modern Darussalam Gontor, yakni organisasi kepramukaan siswa
KMI.
c. Dewan
Mahasiswa (DEMA), yaitu organisasi untuk mahasiswa ISID.
4. Lembaga yang bergerak dalam
bidang penggalian dana, pemeliharaan, perluasan, dan pengembangan aset-aset
Pondok yang disebut Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern
(YPPWPM).
5. Lembaga wadah pemersatu para
alumni Gontor yang disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM).
Di samping kelima lembaga di atas,
ada bagian-bagian tertentu yang dibentuk untuk memperlancar proses pendidikan
dan pengajaran di Pondok. Bagian-bagian tersebut adalah:
1. Bagian pembinaan masyarakat yang
disebut Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM).
2. Bagian yang menangani pergedungan
yang disebut Bagian Pembangunan Pondok Modern Darussalam Gontor.
3. Bagian yang menangani unit-unit
usaha milik Pondok yang disebut Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) La Tansa.
4. Bagian yang bergerak di bidang
pelayanan kesehatan santri dan masyarakat yaitu Balai Kesehatan Santri dan
Masyarakat (BKSM).
BADAN WAKAF PONDOK MODERN
DARUSSALAM GONTOR
Badan Wakaf adalah lembaga tertinggi
dalam organisasi Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor. Lembaga ini
bermula dari pewakafan Pondok Modern Darussalam Gontor, pada tanggal 28 Rabiul
Awwal 1378/12 Oktober 1958, oleh para pendirinya (Trimurti) kepada Ikatan
Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang
dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian
dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sejak penyerahan wakaf Pondok Modern
Darussalam Gontor dari para pendirinya kepada Badan Wakaf itu berarti para
wakif telah melepaskan hak milik pribadinya secara turun temurun demi
kepentingan Islam, ummat Islam, dan pendidikan Islam. Dengan demikian Balai
Pendidikan Pondok Modern Gontor secara resmi telah berpindah status dari milik
pribadi menjadi milik institusi yang dalam hal ini diwakili oleh Badan Wakaf.
Pada tanggal 25-26 September 1977
pengurus dan anggota Badan Wakaf mengadakan musyawarah lengkap di Jakarta. Di
antara keputusan yang diambil pada saat itu adalah perlunya dilakukan
peremajaan kepengurusan Badan Wakaf. Untuk kepentingan peremajaan ini rapat
sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya kepada wakif, yakni Trimurti yang masih
ada.
Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam
Gontor yang diremajakan itu telah diaktenotariskan di Madiun dengan nomor 24,
tanggal 16 Juli 1978.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa
Badan Wakaf merupakan lembaga tertinggi dalam Organisasi Balai Pendidikan
Pondok Modern. Lembaga ini bertugas melaksanakan amanat Trimurti yang tercantum
dalam Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.. Tetapi –
sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Badan Wakaf – selama Trimurti masih
hidup dan dapat melaksanakan tugas, maka Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam
Gontor ini berfungsi sebagai pembantu beliau.
Setelah K.H. Imam Zarkasyi wafat
pada tanggal 30 April 1985, Badan Wakaf memainkan peranan sebagai lembaga
tertinggi di Pondok Modern Darussalam Gontor. Sepeninggal Trimurti Badan Wakaf
mengadakan Sidang Istimewa untuk memilih dan menetapkan Pimpinan Pondok Modern
Darussalam Gontor yang baru. Terpilih secara sepakat sebagai Pimpinan Pondok
Modern Darussalam Gontor ketika itu adalah:
1. K.H. Shoiman Luqmanul Hakim
2. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
MA.
3. K.H. Hasan Abdullah Sahal.
Keputusan memilih tiga Pimpinan
Pondok Modern Darussalam Gontor yang baru ini merupakan salah satu keputusan
penting yang diambil Badan Wakaf sebagai badan legislatif di Pondok Modern
Darussalam Gontor.
Sepeninggal Trimurti kepemimpinan
Pondok Modern selalu diamanatkan kepada tiga orang yang dipilih setiap lima
tahun sekali. Pada awal tahun 1999, salah seorang Pimpinan Pondok, yaitu K.H.
Shoiman Luqmanul Hakim, meninggal dunia. Untuk menggantikan beliau, Badan Wakaf
dalam sidangnya ke-41 menunjuk K.H. Imam Badri; sebelumnya beliau menjabat
sebagai Direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah sejak wafatnya K.H. Imam
Zarkasyi. Pada tahun 2006, salah seorang pimpinan, yaitu Drs. K.H. Imam Badri
meninggal dunia. Untuk menggatikan beliau pada sidang Badan Wakaf ke 56
mengangkat K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag sebagai Pimpinan Pondok. Dengan
demikian komposisi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor berubah menjadi:
1. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
MA.
2. K.H. Hasan Abdullah Sahal.
3. K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.
Di samping berwenang memilih dan
mengangkat serta mengganti Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Badan
Wakaf juga berwenang memilih dan mengangkat serta mengganti Pimpinan dan atau
Anggota lembaga-lembaga di Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor,
serta berwenang meminta pertanggungjawaban kepada lembaga-lembaga yang dimaksud
sewaktu-waktu jika dianggap perlu.
Pengurus Badan Wakaf Pondok Modern
Darussalam Gontor ini terdiri sebanyak-banyaknya 15 orang dengan susunan
sebagai berikut: Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Sekretaris Umum, Sekretaris I,
Sekretaris II, Bendahara I, Bendahara II, dan Anggota.
Berapa tahun terakhir banyak terjadi
penggantian anggota Badan Wakaf, karena telah banyak di antara mereka yang
meninggal dunia. Para anggota Badan Wakaf yang wafat adalah K.H. Shoiman
Lukmanul Hakim (1999), Drs. K.H. Hafidz Dasuki, M.A. (2000), K.H. Abdullah
Mahmud (2001), K.H. Almuhammady (2001), K.H. Hadiyin Rifa’i (2002), dan Drs.
K.H. Ali Saifullah (2002). Drs. K.H. Imam Badri (2006) Pengurus dan anggota
Badan Wakaf hingga sebelum sidang ke 43 adalah sebagai berikut:
Penasehat : Dr. KH. Idham Khalid
Ketua Umum : K.H. Hadiyin Rifa’i
Ketua I : Drs. KH. Kafrawi Ridwan,
MA.
Ketua II : K.H. Abdullah Mahmud
Sekretaris Umum : Drs. K.H. Hafidz
Dasuki, M.A.
Sekretaris I : Drs. K.H. Ali
Saifullah
Sekretaris II : Drs. KH. Amal
Fathullah Zarkasyi, MA.
Bendahara Umum : Drs. KH. Imam Badri
Bendahara I : Drs. H. Rusydi Bey
Fannani
Bendahara II : KH. Sutaji Tajuddin,
MA.
Anggota : KH. Muhammad Sholihin
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA
KH. Hasan Abdullah Sahal
Prof. DR. KH. Din Syamsuddin
DR. KH. Hidayat Nur Wahid
Setelah mengalami pergantian pada
sidang Badan Wakaf ke-56 tanggal
17-18 November 2006, pengurus dan anggota Badan Wakaf Pondok Modern
Darussalam Gontor adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Drs. K.H. Kafrawi
Ridwan, M.A.
Ketua I : K.H. Muhammad Sholihin
Sekretaris I : DR. K.H. Amal
Fathullah Zarkasyi, M.A.
Sekretaris II : K.H. Abdullah Said
Baharmus, Lc.
Bendahara I : Drs. K.H. Rusydi Bey
Fannani
Bendahara II : K.H. Sutaji Tajuddin,
M.A.
Anggota :
DR. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
MA
KH. Hasan Abdullah Sahal
Prof. DR. K.H. Din Syamsuddin
DR. K.H. Hidayat Nur Wahid
K.H. M. Masruh Ahmad, MA, MBA.
K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag
K.H. Akrim Mariyat, Dipl. A. Ed
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar