Sekapur Sirih

Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.

When I'm not working, I'm blogging :-)

Follow Me

Subscribeto blog
Follow me onTwitter
Add myFacebook

Pengikut

Copyright


© 2014 by Mukti Yulianto.

Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.

Rabu, 23 Januari 2013

A.  LATAR BELAKANG SEJARAH

1.    Pondok Tegalsari
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

2. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah tempat terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, dll.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.

Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya setelah pudarnya masa kejayaan Pondok Gontor Lama.

B. PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR BERDIRI

KETIGA putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai Santoso tidak pernah berhenti berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan, pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu serta kesungguhan ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga putera itu untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345, di dalam peringatan Maulid Nabi, di hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.

1. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu program pendidikan anak-anak untuk masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor Baru, usaha ini telah dapat membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Para santri T.A. itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan dilangsungkan pada siang dan malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi oleh lampu batok (tempurung kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh Pondok yang memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama.
Pada usia tujuh tahun, siswa T.A. telah mencapai 500 orang putra dan putri. Fasilitas belajar-mengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan. Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun. Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah "Anshar Gontor", yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu para santri di dalam Pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.
Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun, didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor. Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan. Di samping membantu pendirian madrasah-madrasah TA tersebut, mutu TA di Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki kemampuan yang memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa TA cabang yang ada. Untuk itu dibukalah jenjang pendidikan di atas TA yang diberi nama Sullamul Muta’allimin.

2. Pembukaan Sullamul Muta’allimin, 1932.
Dengan semakin banyaknya siswa yang menyelesaikan pendidikan di TA dan adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut, pada tahun 1932 Pengasuh Pondok Gontor membuka program lanjutan dari Tarbiyatul Athfal yang diberi nama "Sullamul Muta’allimin". Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an, cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di samping itu mereka juga diajari ketrampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain.
Kegiatan ekstra kurikuler mendapat perhatian luar biasa dari pengasuh Pondok, sehingga setelah tiga tahun berdirinya Sullamul Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan barisan pemuda, antara lain:
a.    Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi Pemuda)
b.    Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi)
c.    Muballighin (Organisasi Juru Dakwah)
d.    Bintang Islam (Gerakan Kepanduan)
e.    Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga)
f.     Miftahussa’adah dengan "Mardi Kasampurnaan".
g.    Klub Seni Suara, dan
h.    Klub Teater.
Usaha Pengasuh Pondok untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah yang menjadi cabang TA sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar Gontor. Para murid dan alumni TA dan Sullamul Muta’allimin Gontor menjadi tulang punggung dari berlangsungnya proses belajar mengajar di madrasah-madrasah itu. Mengingat banyak madrasah Tarbiyatul Athfal yang telah dibuka, maka dibentuklah sebuah wadah yang menggabungkan seluruh TA itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI) yang dipimpin langsung oleh Pak Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan kembali Gontor, TPI telah mempunyai murid lebih dari 1000.

3. Pembukaan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), 1936.
Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran TA telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Program pendidikan di TA pun berkembang. Jika pada awalnya TA hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan Peringatan atau "Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor". Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok.
Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan kini hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: "Biarpun tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang." Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: "Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena." Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: "Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai Pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan urusan ini."
Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin banyak.
Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat atas, atau kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi sebagai berikut :
a. Program Onderbow, lama belajar 3 tahun.
b. Program Bovenbow, lama belajar 2 tahun.

4. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku"
Tahun ke-5 berdirinya KMI merupakan tahun bersejarah bagi Pondok Modern Darussalam Gontor dengan terciptanya "Hymne Oh Pondokku." Lagu hymne ini diciptakan R. Mu’in dan liriknya diciptakan Husnul Haq, keduanya guru KMI.

5. Peringatan 15 Tahun
Pada tanggal 1-10 Januari 1942, Pondok Modern Darussalam Gontor mengadakan Peringatan 15 Tahun Berdirinya Pondok yang disebut Fijftien Jarige Jubelium. Tujuan peringatan ini adalah mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai. Semula Peringatan ini akan diadakan tahun 1941, tetapi karena situasi tidak aman dengan pecahnya Perang Dunia II, Peringatan tersebut diundur hingga tahun 1942.

6. Masa Penjajahan Jepang
Dengan berkecamuknya perang Belanda-Jepang untuk memperebutkan Indonesia, terputuslah jalur komunikasi luar Jawa dengan Jawa. Akibatnya santri Gontor yang berasal dari luar Jawa tidak mendapatkan kiriman dari orang tua mereka. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Pengasuh dan Direktur menjual kekayaan pribadi mereka. Usaha inipun masih belum bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari santri, maka didirikanlah Dapur Umum dan dibentuk pengurusnya yang disebut UPPIPOM (Usaha Penolong Pelajar Islam Pondok Modern) yang bertugas mencari dana bagi kepentingan para santri.
Tahun 1943/1944 dengan propaganda perang suci "Perang Asia Timur Raya", Jepang mewajibkan pemuda ikut perang, maka sekolah-sekolah harus ditutup, termasuk KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun lembaga pendidikan yang bernama pondok pesantren dibiarkan tetap hidup. Karena itu pembelajaran di KMI dilaksanakan di dalam kamar para santri secara sembunyi-sembunyi. Dengan cara demikian Pondok Modern Darussalam Gontor tidak dikategorikan sebagai sekolah, sehingga tidak wajib ditutup.
7. Perang Merebut Kemerdekaan
Pada saat perang merebut kemerdekaan negeri ini, santri Gontor banyak yang terlibat. Mereka masuk dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Setelah perang agak reda, 1946, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor tinggal belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan, program KMI mulai ditata kembali. Pada 1947 organisasi pelajar Roudlatul Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII (Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih karena ia tidak berafiliasi kepada satu parpol atau golongan tertentu, sesuai dengan prinsip Gontor Berdiri di atas dan untuk semua golongan.

8. Pemberontakan PKI 1948
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam Gontor diguncang oleh pemberontakan PKI pimpinan Muso yang dikenal dengan sebutan “Madiun Affair”. Pada saat itu Pondok terpaksa dikosongkan. Sejumlah 200 santri secara bergelombang meninggalkan Pondok untuk menyusun taktik perlawanan dan gelombang terakhir diikuti oleh pengasuh dan direktur mereka. Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang Indonesia. Pondok lagi-lagi terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut bergerilya mengangkat senjata bergabung dengan Corp Pelajar.

9. Pembentukan IKPM
Jumlah alumni KMI Pondok Modern Darussalam Gontor mulai banyak, mereka tersebar di masyarakat dan bergerak dalam berbagai bidang kegiatan. Para alumni itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah persaudaraan yang disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM). Organisasi alumni Gontor ini lahir tanggal 17 Desember 1949 di tengah berlangsungnya Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta. Pengikraran secara resmi IKPM dilakukan pada Peringatan Seperempat Abad Pondok Modern, 29 Oktober 1951.

10. Peringatan Seperempat Abad
Peringatan Seperembat Abad Pondok (27 Oktober – 4 November 1951) dilaksanakan secara meriah dengan rentetan acara bermacam-macam. Pada pembukaan acara tersebut Pak Sahal menyampaikan sambutan di antaranya berisi ikrar bahwa Pondok Modern Darussalam Gontor adalah Milik Ummat Islam Seluruh Dunia, karena itu maju mundurnya Pondok diserahkan kepada ummat Islam.

11. Peringatan Empat Windu dan Pewakafan Pondok
Momen bersejarah bagi terwujudnya niat mewakafkan Pondok kepada Ummat Islam terjadi pada Peringatan Empat Windu Pondok Modern Darussalam Gontor, 11-17 Oktober 1958. Pada saat itu, 12 Oktober 1958, Trimurti (K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkarsyi) sebagai pendiri Pondok mewakafkan Pondok Modern Darussalam Gontor kepada IKPM yang diwakili oleh 15 orang. Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ketika itu terdiri dari tanah kering seluas 1,740 ha (Kampus Pondok), tanah basah seluas 16,851 ha, dan gedung sebanyak 12 buah; Masjid, Madrasah, Indonesia I, Indonesia II, Indonesia III, Tunis, Gedung Baru, Abadi, Asia Baru, PSA, BPPM, dan Darul Kutub.

12. Pembentukan YPPWPM
Untuk memelihara dan mengembangkan kekayaan yang diwakafkan ini dan untuk menangani berbagai persoalan berkaitan dengan pendanaan Pondok Modern, didirikanlah Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM), tanggal 18 Maret 1959.

13. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren
Setelah seperempat abad KMI berdiri dibukalah Perguruan Tinggi di Gontor dengan nama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD), tanggal 17 Nopember 1963. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD) yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Saat ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dan Pengajaran Bahasa Arab, Fakultas Ushuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama dan Akidah dan Pemikiran Islam (Filsafat), dan Fakultas Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum dan jurusan Ekonomi Islam. Sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus tersendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.

14. Peringatan Lima Windu dan Persemar
Pada Tahun 1967 diadakan Peringatan Lima Windu Pondok Modern Darussalam Gontor. Di antara acara penting dalam peringatan ini adalah wisuda perdana sarjana Perguruan Tinggi Darussalam. Pada tahun ini juga terjadi tragedi yang disebut Persemar (Peristiwa Sembilan belas Maret). Sekelompok guru dan santri yang terprovokasi berusaha mengubah haluan Pondok dengan ide yang mereka sebut sendiri sebagai ide gila. Mereka berniat membunuh dan menyingkirkan pendiri dan sekaligus Pimpinan Pondok, kemudian memilih pimpinan yang mereka kehendaki dari para tokoh pembuat makar itu. Rupanya Allah tidak meridho’i usaha mereka dan mereka pun gagal.
Persemar tampaknya menjadi pupuk bagi perjalanan sejarah Pondok kemudian. Setelah peristiwa itu Pondok berkembang dengan pesat dan minat masyarakat untuk belajar di Gontor semakin tinggi.

15. Kesyukuran Setengah Abad dan Peresmian Masjid Jami’
Pesatnya perkembangan Pondok ini kemudian disyukuri dengan Perayaan Kesyukuran Setangah Abad, berlangsung tanggal 2-4 Maret 1978. Acara ini dihadiri oleh Presiden R.I. Soeharto yang sekaligus meresmikan Masji Jami’ Pondok.

16. Trimurti Wafat
Tahun 1967 K.H. Zainuddin Fanani, salah seorang dari Trimurti Pendiri Pondok wafat. Kemudian disusul oleh K.H. Ahmad Sahal yang wafat tahun 1977. Delapan tahun berikutnya, 1985, K.H. Imam Zarkasyi pun pergi menghadap Ilahi menyusul kedua kakaknya. Sepeninggal Trimurti tongkat estafet kepemimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor diserahkan kepada generasi kedua.[]


C.  RA GENERASI KEDUA
DALAM sidang pertamanya, sepeninggal Trimurti, Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor menetapkan tiga Pimpinan Pondok untuk memimpin Gontor paska Trimurti. Ketiga Pimpinan itu adalah K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., dan K.H. Hasan Abdullah Sahal. Untuk menangani KMI, Badan Wakaf menetapkan K.H. Imam Badri sebagai Direktur KMI. Awal kepemimpinan Generasi Kedua diliputi oleh kekhawatiran dan keraguan akan nasib Pondok Modern Darussalam Gontor sepeninggal Generasi Pertama. Tetapi berkat tekad yang bulat, niat yang mantap, dan perjuangan yang tak kenal menyerah; dengan semboyan "Labuh bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane" serta tawakkal kepada Allah SWT; Generasi Kedua berhasil melalui segala ujian dan rintangan untuk mempertahankan, mengembangkan, dan memajukan Pondok Modern Darussalam Gontor. Banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Pimpinan Pondok dari Generasi Kedua ini; baik fisik maupun non fisik.

1. Pembentukan PLMPM
Salah satu orientasi pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor adalah kemasyarakatan. Para santri dicetak untuk menjadi pejuang Islam yang mandiri di masyarakat. Kenyataannya, perkembangan iptek dan meluasnya informasi di segala sektor kehidupan menimbulkan perubahan sosial yang cepat di masyarakat, sehingga menimbulkan jarak antara kesiapan individu santri dengan tuntutan lingkungannya. Perkembangan dan perubahan zaman ini telah diantisipasi oleh Pondok melalui berbagai cara dan program. Di antaranya adalah dengan mendirikan Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM), tahun 1988, yang dirancang khusus bagi alumni KMI dan ISID yang memang betul-betul akan terjun langsung ke masyarakat. Di lembaga ini para alumni itu diberi bekal tambahan untuk menyempurnakan dan mempercepat karya mereka di masyarakat.

2. Pembukaan Pesantren Putri
Di antara wujud kemajuan yang dicapai Generasi Kedua adalah keberhasilannya merealisasikan amanat Trimurti dan melaksanakan Keputusan Badan Wakaf untuk mendirikan Pesantren Putri. Pesantren yang didirikan di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur ini dibuka secara resmi tanggal 31 Mei 1990 oleh Menteri Agama R.I. Munawwir Syadzali dengan didampingi oleh Duta Besar Mesir untuk Indonesia.

3. Peringatan Delapan Windu
Perkembangan dan kemajuan ini kemudian disyukuri dengan mengadakan Peringatan Delapan Windu yang berlangsung tanggal 3 Juni-20 Juli 1991. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, para cendekiawan dan akademisi, para kyai pimpinan pondok pesantren, para pejabat tinggi pemerintah baik sipil maupun militer, dan para duta besar perwakilan negara-negara sahabat. Hampir seluruh pimpinan Ormas Islam ikut hadir dalam acara ini, dan pada acara puncak Peringatan ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Sudharmono, S.H. beserta rombongan.

4. Peringatan 70 Tahun
Enam tahun kemudian, 1997, Pondok menyelenggarakan Peringatan 70 Tahun. Acara ini berlangsung sukses meskipun tidak semeriah Peringatan Delapan Windu. Puncak acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno beserta beberapa pejabat tinggi negara lainnya.


5 . Pendirian Pondok-Pondok Cabang
Mengingat tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya di Gontor dan keterbatasan fasilitas yang tersedia di Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor serta untuk memberikan bekal yang lebih baik kepada para calon santri yang ingin masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, dibukalah cabang-cabang Gontor di beberapa tempat: Pondok Modern Darussalam Gontor II, di Madusari, Siman, Ponorogo, tahun 1996; Pondok Modern Darussalam Gontor III "Darul Makrifat" di Sumbercangkring, Gurah, Kediri, tahun 1993; Pondok Modern Darussalam Gontor IV, yaitu Pesantren Putri Gontor di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, tahun 1990; Pondok Modern Darussalam Gontor V "Darul Muttaqin" di Kaligung, Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1990; Pondok Modern Darussalam Gontor VI "Darul Qiyam" di Gadingsari, Mangunsari, Sawangan, Magelang, tahun 1999; dan Pondok Modern Darussalam Gontor VII “Riyadlatul Mujahidin”, di Podahua, Landono, Sulawesi Tenggara, tahun 2002. Di samping itu juga dibu Pondok Modern Darussalam Gontor Putri II pada tahun 1997 dan Pondok Modern Darussalam Gontor Putri III pada tahun 2002.

6. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua
Pada awal tahun 1999, suasana duka menyelimuti Pondok Modern Darussalam Gontor; K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, salah seorang Pimpinan Pondok, pulang ke rahmatullah. Untuk menggantikan posisi beliau sebagai Pimpinan Pondok, Badan Wakaf menunjuk K.H. Imam Badri.

7 . Pendirian Gontor VI Darul Qiyam Magelang
Pondok Modern Darussalam Gontor mendapat wakaf tanah 2,3 hektar beserta 1 masjid dan 1 Unit rumah dari Hj. Qayyumi, istri dari bapak KH. Kafrawi Ridwan, MA, di dusun Gadingsari desa Mangunsari kecamatan Sawangan kabupaten Magelang. Berdasarkan keputusan Badan Wakaf yang ke-46, didirikanlah Gontor VI di atas lokasi tanah wakaf tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2000, dibuka secara resmi Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah "Darul Qiyam" Magelang oleh DIRJEN BIMBAGA ISLAM DEPAG RI, Dr. H. Marwan Saridjo.

8. Kampus Gontor Putri II
Pada tanggal 5 Muharram 1422/ 1 April 2001 mulai dibangun kampus Gontor Putri II. Sejak tahun1997 Gontor Putri II masih menjadi satu dengan Kampus Gontor Putri I. Kampus Gontor Putri II berlokasi di sebelah barat kampus Gontor putri I, di atas tanah seluas 10 hektar. Secara simbolis penggunaan kampus Gontor Putri II diresmikan oleh presiden RI Megawati Soekarno Putri pada tanggal 14 Februari 2002, ketika berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo.

9. Gontor Buka Cabang di Kendari
Pada tanggal 24 Rabiul Tsani 1423 / 5 Juli 2002 di Kendari diadakan kesepakatan bersama antara pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai pihak I yang diwakili oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Drs. H. La Ode Kamaimoedin dengan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur sebagai pihak ke II yang diwakili oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, tentang; pendirian dan pengelolaan Pondok Modern Darussalam Gontor VII "Riyadatul Mujahidin" Pudahoa, Landono, Kendari, di atas tanah seluas 1000 hektar milik pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk selanjutnya pengelolaan dan tanggungjawab serta peningkatan mutu Pondok Modern Darussalam Gontor VII Riyadatul Mujahidin sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pondok Modern Darussalam Gontor

10. Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu
Setiap tahun jumlah calon pelajar yang hendak belajar di Pondok Gontor Putri kian bertambah, sehingga 2 kampus yang telah disediakan itu dianggap tidak lagi dapat menampung mereka. Maka pada awal bulan Oktober 2002, telah dimulai pembangunan kampus Gontor Putri III di Desa Karangbanyu Kec. Widodaren, di atas tanah seluas 10 hektar. Pada tahun ajaran 1423/2003 ini, Pondok Gontor Putri III telah melahirkan alumni perdananya.[]

D. GAGASAN DAN CITA-CITA
Apakah gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo sehingga mempunyai tekad yang begitu besar? Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan ummat Islam dalan mencari ridha Allah. Tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita itu adalah Pondok Pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya pada masa nenek moyang mereka tatapi pada saat itu telah mati.
Pendidikan pondok pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan, sedangkan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia karena situasi penjajahan dan lain-lain belum mampu berkembang pesat sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya. Karena itu pengembangan pondok pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan dari lembaga-lembaga Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem pendidikan pesantren. Para Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, pada awal pembangunan Pondok Gontor Baru telah mengkaji berbagai lembaga pendidikan terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Di Mesir terdapat Universitas al-Azhar yang terkenal dengan keabadiannya. Al-azhar bermula dari sebuah masjid yang didirikan oleh Penguasa Mesir dari Daulah Fatimiyyah. Universitas ini telah hidup ratusan tahun dan telah memiliki harta wakaf yang mampu memberi beasiswa kepada siswa dari seluruh dunia. Di Mauritania terdapat Pondok Syanggit. Lembaga pendidikan ini harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para pengasuhnya. Syanggit adalah lembaga pendidikan yang dikelola dengan jiwa keikhlasan; para pengasuh mendidik murid-murid siang-malam serta menanggung seluruh kebutuhan santri. Di India terdapat Universitas Muslim Aligarh, sebuah lembaga pendidikan modern yang membekali mahasiswanya dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta memjadi pelopor revival of Islam. Di India juga terdapat perguruan Santiniketan, didirikan oleh Rabindranath Tagore, seorang filosuf Hindu. Perguruan yang dikenal dengan kedamaiannya ini berlokasi di kawasan hutan, serba sederhana dan telah mampu mengajar dunia.
Keempat lembaga pendidikan tersebut menjadi idaman para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, karena itu mereka hendak mendirikan lembaga pendidikan yang merupakan sintesa dari empat lembaga di atas .
Selain itu, gagasan untuk membangun Gontor Baru dan gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam Konggres Ummat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia, misalnya H.O.S.Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain.
Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa ummat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Makkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta konggres tersebut akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria di atas .
Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari kongres itu menjadi topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga yang akan dibina di kemudian hari .
Selain itu, situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Diantara sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap, berilmu luas dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat
Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu sangat timpang, satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh ummat Islam. Maka pondok pesantren yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini .
Situasi sosial dan politik bangsa Indonesia berpengaruh pula pada pendidikan; banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh partai-partai dan golongan-golongan politik. Dalam lembaga pemdidikan itu ditanamkan pelajaran tentang partai atau golongan. Sehingga timbul fanatisme golongan. Sedangkan para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan itu harus dibebaskan dari kepentingan golongan atau partai politik tertentu, dan “berdiri di atas dan untuk semua golongan".
Tidak dapat disangkal bahwa ummat Islam Indonesia, juga ummat Islam di seluruh dunia, terbagi ke dalam berbagai suku, bangsa, negara, dan bahasa; mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama; mereka juga terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan baik dalam bidang politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun yang lain. Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor pengkategori yang beragam. Tetapi, harus tetap disadari bahwa kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak. Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu sendiri; ummat Islam seluruhnya adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah diniyyah.
Bangsa ini terus berkembang dan semua itu menjadi perhatian, pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke waktu. Ketiga pendiri yang memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda itu saling mengisi dan melengkapi, sehingga Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi seperti sekarang ini.
Namun semua yang ada saat ini belum mencerminkan seluruh gagasan dan cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu adalah tugas generasi penerus untuk memelihara, mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan ini demi tercapainya cita-cita para pendirinya.[]

E. PANCA JIWA PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR
SELURUH kehidupan di Pondok Moderm Gontor didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa sebagai berikut;

1.Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.

2.Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .

3.Jiwa Berdikari
Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .
Inilah Zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok .

4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.

5. Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat.
Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.



F.  PANCA JANGKA PONDOK MODERN

Dalam rangka mengembangkan dan memajukan Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor, dirumuskanlah Panca Jangka yang merupakan program kerja Pondok yang memberikan arah dan panduan untuk mewujudkan upaya pengembangan dan pemajuan tersebut. Adapun Panca Jangka itu meliputi bidang-bidang berikut :

1. Pendidikan dan Pengajaran
Maksud jangka ini adalah berusaha secara maksimal untuk meningkatkan dan menyempurnakan pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern Darussalam Gontor. Usaha ini tercatat dalam sejarah perjalanan Pondok ini yang dimulai dengan pendirian Tarbiyatul Athfal pada tahun 1926, Sullamul Muta’allimin tahun 1932. Sepuluh tahun kemudian, 1936, didirikan Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah (Tsanawiyah dan Aliyah). Pada tahun 1963 didirikanlah Perguruan Tinggi yang bernama Institut Pendidikan Darussalam (sekarang bernama : Institut Studi Islam Darussalam). Adapun cita-cita selanjutnya adalah mendirikan Universitas Islam Darussalam, sebagaimana tertulis dalam Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.

2. Kaderisasi
Sejarah timbul dan tenggelamnya suatu usaha, terutama hidup dan matinya pondok-pondok di tanah air, memberikan pelajaran kepada para pendiri Pondok tentang pentingnya perhatian terhadap kaderisasi. Sudah banyak riwayat tentang pondok-pondok yang maju dan terkenal pada suatu ketika, tetapi kemudian menjadi mundur dan bahkan mati setelah pendiri atau kyai pondok itu meninggal dunia. Di antara faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran ataupun matinya pondok-pondok tersebut adalah tidak adanya program kaderisasi yang baik.
Bercermin pada kenyataan ini, Pondok Modern Darussalam Gontor memberikan perhatian terhadap upaya menyiapkan kader yang akan melanjutkan cita-cita Pondok.

3. Pergedungan
Jangka ini memberikan perhatian kepada upaya penyediaan prasarana dan sarana pendidikan dan pengajaran yang layak bagi para santri.

4. Chizanatullah
Di antara syarat terpenting bagi sebuah lembaga pendidikan agar tetap bertahan hidup dan berkembang adalah memiliki sumber dana sendiri. Sebuah lembaga pendidikan yang hanya menggantungkan hidupnya kepada bantuan pihak lain yang belum tentu didapat tentu tidak dapat terjamin keberlangsungan hidupnya. Bahkan hidupnya akan seperti ilalang di atas batu, “Hidup enggan, mati tak hendak”.
Di antara usaha yang telah dilakukan untuk memenuhi maksud ini adalah membentuk suatu badan khusus yang mengurusi dana, bernama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Badan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM). Yayasan ini mengurusi dan mengembangkan harta wakaf milik pondok.

5. Kesejahteraan Keluarga Pondok
Jangka ini bertujuan untuk memberdayakan kehidupan keluarga-keluarga yang membantu dan bertanggungjawab terhadap hidup dan matinya Pondok secara langsung, sehingga mereka itu tidak menggantungkan penghidupannya kepada Pondok. Mereka itu hendaknya dapat memberi penghidupan kepada Pondok. Sesuai dengan semboyan : "Hidupilah Pondok dan jangan menggantungkan hidup kepada Pondok".

G.  MOTTO PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR
Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor menekankan pada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini merupakan motto pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.

2. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

3. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.

4. Berpikiran Bebas
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.[]


H.  STRUKTUR ORGANISASI DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR

Lembaga tertinggi dalam organisasi Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor ialah Badan Wakaf. Badan Wakaf adalah semacam badan legislatif yang beranggotakan 15 orang, bertanggungjawab atas segala pelaksanaan dan perkembangan pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern. Untuk tugas dan kewajiban keseharian amanat ini dijalankan oleh Pimpinan Pondok.
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan semacam badan eksekutif (setelah wafatnya para pendiri Pondok) yang dipilih oleh Badan Wakaf setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian Pimpinan Pondok adalah mandataris Badan Wakaf yang mendapatkan amanah untuk menjalankan keputusan-keputusan Badan Wakaf dan bertanggungjawab kepada Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, di samping memimpin lembaga-lembaga dan bagian-bagian di Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor, juga berkewajiban mengasuh para santri sesuai dengan sunnah Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor. Adapun lembaga-lembaga dan atau bagian-bagian yang dibawahi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor adalah sebagai berikut:

1. Lembaga perguruan menengah dengan masa belajar 6 atau 4 tahun, setingkat Tsanawiyah dan Aliyah, bernama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI)
2. Lembaga perguruan tinggi yang disebut Institut Studi Islam Darussalam (ISID), mempunyai tiga fakultas: Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Syari’ah.
3. Lembaga Pengasuhan Santri yang mengurusi bidang pengasuhan santri khususnya bidang ekstra kurikuler. Lembaga ini membawahi tiga organisasi santri:
a.       Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), yaitu organisasi siswa KMI
b.       Koordinator Gugusdepan Pondok Modern Darussalam Gontor, yakni organisasi kepramukaan siswa KMI.
c.        Dewan Mahasiswa (DEMA), yaitu organisasi untuk mahasiswa ISID.
4. Lembaga yang bergerak dalam bidang penggalian dana, pemeliharaan, perluasan, dan pengembangan aset-aset Pondok yang disebut Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM).
5. Lembaga wadah pemersatu para alumni Gontor yang disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM).

Di samping kelima lembaga di atas, ada bagian-bagian tertentu yang dibentuk untuk memperlancar proses pendidikan dan pengajaran di Pondok. Bagian-bagian tersebut adalah:
1. Bagian pembinaan masyarakat yang disebut Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM).
2. Bagian yang menangani pergedungan yang disebut Bagian Pembangunan Pondok Modern Darussalam Gontor.
3. Bagian yang menangani unit-unit usaha milik Pondok yang disebut Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) La Tansa.
4. Bagian yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan santri dan masyarakat yaitu Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM).




BADAN WAKAF PONDOK MODERN
DARUSSALAM GONTOR

Badan Wakaf adalah lembaga tertinggi dalam organisasi Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor. Lembaga ini bermula dari pewakafan Pondok Modern Darussalam Gontor, pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958, oleh para pendirinya (Trimurti) kepada Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sejak penyerahan wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor dari para pendirinya kepada Badan Wakaf itu berarti para wakif telah melepaskan hak milik pribadinya secara turun temurun demi kepentingan Islam, ummat Islam, dan pendidikan Islam. Dengan demikian Balai Pendidikan Pondok Modern Gontor secara resmi telah berpindah status dari milik pribadi menjadi milik institusi yang dalam hal ini diwakili oleh Badan Wakaf.
Pada tanggal 25-26 September 1977 pengurus dan anggota Badan Wakaf mengadakan musyawarah lengkap di Jakarta. Di antara keputusan yang diambil pada saat itu adalah perlunya dilakukan peremajaan kepengurusan Badan Wakaf. Untuk kepentingan peremajaan ini rapat sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya kepada wakif, yakni Trimurti yang masih ada.
Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor yang diremajakan itu telah diaktenotariskan di Madiun dengan nomor 24, tanggal 16 Juli 1978.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Badan Wakaf merupakan lembaga tertinggi dalam Organisasi Balai Pendidikan Pondok Modern. Lembaga ini bertugas melaksanakan amanat Trimurti yang tercantum dalam Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.. Tetapi – sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Badan Wakaf – selama Trimurti masih hidup dan dapat melaksanakan tugas, maka Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ini berfungsi sebagai pembantu beliau.
Setelah K.H. Imam Zarkasyi wafat pada tanggal 30 April 1985, Badan Wakaf memainkan peranan sebagai lembaga tertinggi di Pondok Modern Darussalam Gontor. Sepeninggal Trimurti Badan Wakaf mengadakan Sidang Istimewa untuk memilih dan menetapkan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor yang baru. Terpilih secara sepakat sebagai Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor ketika itu adalah:
1. K.H. Shoiman Luqmanul Hakim
2. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.
3. K.H. Hasan Abdullah Sahal.

Keputusan memilih tiga Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor yang baru ini merupakan salah satu keputusan penting yang diambil Badan Wakaf sebagai badan legislatif di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sepeninggal Trimurti kepemimpinan Pondok Modern selalu diamanatkan kepada tiga orang yang dipilih setiap lima tahun sekali. Pada awal tahun 1999, salah seorang Pimpinan Pondok, yaitu K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, meninggal dunia. Untuk menggantikan beliau, Badan Wakaf dalam sidangnya ke-41 menunjuk K.H. Imam Badri; sebelumnya beliau menjabat sebagai Direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah sejak wafatnya K.H. Imam Zarkasyi. Pada tahun 2006, salah seorang pimpinan, yaitu Drs. K.H. Imam Badri meninggal dunia. Untuk menggatikan beliau pada sidang Badan Wakaf ke 56 mengangkat K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag sebagai Pimpinan Pondok. Dengan demikian komposisi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor berubah menjadi:
1. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.
2. K.H. Hasan Abdullah Sahal.
3. K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.

Di samping berwenang memilih dan mengangkat serta mengganti Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Badan Wakaf juga berwenang memilih dan mengangkat serta mengganti Pimpinan dan atau Anggota lembaga-lembaga di Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor, serta berwenang meminta pertanggungjawaban kepada lembaga-lembaga yang dimaksud sewaktu-waktu jika dianggap perlu.
Pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ini terdiri sebanyak-banyaknya 15 orang dengan susunan sebagai berikut: Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Sekretaris Umum, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara I, Bendahara II, dan Anggota.
Berapa tahun terakhir banyak terjadi penggantian anggota Badan Wakaf, karena telah banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Para anggota Badan Wakaf yang wafat adalah K.H. Shoiman Lukmanul Hakim (1999), Drs. K.H. Hafidz Dasuki, M.A. (2000), K.H. Abdullah Mahmud (2001), K.H. Almuhammady (2001), K.H. Hadiyin Rifa’i (2002), dan Drs. K.H. Ali Saifullah (2002). Drs. K.H. Imam Badri (2006) Pengurus dan anggota Badan Wakaf hingga sebelum sidang ke 43 adalah sebagai berikut:
Penasehat : Dr. KH. Idham Khalid
Ketua Umum : K.H. Hadiyin Rifa’i
Ketua I : Drs. KH. Kafrawi Ridwan, MA.
Ketua II : K.H. Abdullah Mahmud
Sekretaris Umum : Drs. K.H. Hafidz Dasuki, M.A.
Sekretaris I : Drs. K.H. Ali Saifullah
Sekretaris II : Drs. KH. Amal Fathullah Zarkasyi, MA.
Bendahara Umum : Drs. KH. Imam Badri
Bendahara I : Drs. H. Rusydi Bey Fannani
Bendahara II : KH. Sutaji Tajuddin, MA.
Anggota : KH. Muhammad Sholihin
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA
KH. Hasan Abdullah Sahal
Prof. DR. KH. Din Syamsuddin
DR. KH. Hidayat Nur Wahid

Setelah mengalami pergantian pada sidang Badan Wakaf ke-56 tanggal 17-18 November 2006, pengurus dan anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Drs. K.H. Kafrawi Ridwan, M.A.
Ketua I : K.H. Muhammad Sholihin
Sekretaris I : DR. K.H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A.
Sekretaris II : K.H. Abdullah Said Baharmus, Lc.
Bendahara I : Drs. K.H. Rusydi Bey Fannani
Bendahara II : K.H. Sutaji Tajuddin, M.A.
Anggota :
DR. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA
KH. Hasan Abdullah Sahal
Prof. DR. K.H. Din Syamsuddin
DR. K.H. Hidayat Nur Wahid
K.H. M. Masruh Ahmad, MA, MBA.
K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag
K.H. Akrim Mariyat, Dipl. A. Ed



0 komentar: