Sekapur Sirih

Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.

When I'm not working, I'm blogging :-)

Follow Me

Subscribeto blog
Follow me onTwitter
Add myFacebook

Pengikut

Copyright


© 2014 by Mukti Yulianto.

Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.

Rabu, 15 Agustus 2012

Yang lama ku pendam sendiri


(kembali ke masa kecil)

Di sebuah rumah bercat dinding biru awan dan dihiaskan bunga-bunga indah nan wangi yang bertebaran di taman. Bintang sedang bermain kelereng. Beranjak lah segera dari permainannya dan ditatapinya rumah bagian depannya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya tentang  apa yang baru saja ia lihat. Rumahnya tampak seperti rumah yang tak berpenghuni. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke dalam rumahnya lewat jendela dan ventilasi yang sempit di Minggu pagi itu. Ia tersadar untuk apa sebuah rumah berdiri jika rumah tu tak pernah sebagai rumah bagi hati dan jiwanya. Kosong seperti awan di langit. Bahkan langit yang kosong itu masih mempunyai awan. Dalam hatinya berkata, kenapa ayah jarang pulang??? Kenapa ayah hanya sebagai tamu di rumah ayah sendiri???. Itulah jeritan anak yang sebetulnya merindukan sang ayah meski Bintang merasa seperti tak ada kehadiran Ayah dalam rumah itu. Bagi ayahnya uang yang paling utama. Hanya dengan semuanya bahagia tanpa kehadirannya. Padahal yang dibutuhkan seorang anak pada umumnya adalah kasih sayang orangtua. Uang bukan segala-segalanya meski segala-galanya memang membutuhkan uang. Terkadang tampak seperti kertas usang dan bekas pada raut wajah Bintang.
Suatu ketika, ia sedang membeli bakso di warung yang tak jauh dari kampungnya.
Bintang : “Mas, beli baksonya dong satu”
Penjual Bakso : “Kosongan atau pake mie”
Bintang: “kosongan aja deh mas”
Penjual Bakso: “maaf mas kalau kosongan, ini  yg jatahnya mas saya kasihkan ke anak itu ya?”
(sambil memanggil anak yang berbaju sederahana)
Bintang:”Iya mas” (Dengan ekspresi keheranan)
Anak itu : “makasih ya mas, ini buat saya jual lagi dan sisanya saya kasihkan ke ayah saya nanti dirumah”
Bintang:”memang,ayah kamu gak kerja dek”
Anak itu: “Ayah sudah lama struk mas, dulu ayah saya yang punya warung bakso ini tapi dijual buat ngobatin saya dulu. Maaf mas saya pergi dulu mau sekolah”
Penjual Bakso:”Ya,begitu mas. Saya sendiri cukup prihatin tapi salut buat perjuangan anak itu buat ayahnya meski ayahnya dulu gak pernah baik sama anak. Saya tahu karena saya dulu karyawannya.”
Bintang: “Oh gitu mas.”(termenung)
Penjual Bakso:” ini mas baksonya”
Bintang:” makasih mas”

Bergegaslah Bintang untuk pulang ke rumah. Waktu di jalan, pikirannya masih tertuju pada anak kecil tadi. Anak yang tak pernah menuntut apapun padahal ia masih kecil tapi rela bekerja keras untuk ayahnya.
Sesampainya di rumah, ia bertemu dengan ibunya lalu bakso itu disantaplah bersama ibu dan kakak-kakaknya. Bintang sempat bercerita tentang anak kecil yang ditemuinya waktu membeli bakso. Akhirnya cerita itu berlanjut dengan cerita masa kecil sang ayah.
Ibu:” ibu mau ceritakan masa kecil ayahmu ya”
Bintang:”iya bu”

“Kehidupan ayahmu itu tak seberuntung kamu. ketika lahir, ia sudah ditinggalkan ibunya tak lama setelah melahirkan. Baru berumur 4 tahun, kakek sudah menikah lagi. Jadi waktu itu yang mengasuh ayahmu adalah ibu tirinya. Baru SD saja ayahmu sudah harus bekerja dengan membawa kayu-kayu yang diambil dari hutan ke penjuanl kayu sebelum berangkat sekolah. Di jaman ini jarang ditemukan atau bahkan sudah tidak ada anak SD yang berjualan kayu yang dibawa di punggungnya. Itu pun dilakukan waktu mau berangkat sekolah dan uang hasil jualan digunakan untuk bayar sekolah bukan buat jajan seperti anak-anak sekarang. Sampai SMA kehidupan ayahmu seperti itu tak ada yang berubah. Hingga paad saatnya ayahmu berpikir keras bahwa jika usahanya seperti ini maka keturunannya nanti juga sama seperti dia. Maka setelah tamat SMA, ia merantau ke Jakarta dengan modal nekat saja. Berbulan-bulan ia hanya menjadi kuli bangunan. Dari kuli bangunan, dia merubah hidupnya dengan berjualan sayur-sayuran segara yang dibelinya dari juragan dengan membawa mobil pick up. Suatu hari ia, berpikir lagi untuk apa ijazah STM nya jika ia hanya bisa bekerja seperti ini. Diambil lah langkahnya untuk merantau ke Manado. Di Manado ia mulai mendapat proyek kecil-kecilan sekedar membuat toilet umum. Nah, dari sinilah ayahmu mulai naik. Ia mulai mendapat tawaran membuat rumah lalu gedung sekolah dan sempat membuat jalan tol. Ayahmu juga sempat mempunyai perusahaan di Jakarta meski sekarang sudah lenyap seperti debu.”

BIntang pun tertegun dengan apa yang baru saja diceritakan ibunya. Ia jadi sedikit mengerti kenapa ayahnya seperti ini sekarang. Tapi ia hanya bisa diam. Tapi ia masih berpikir kenapa sampai begitu yang diperlakukan ayahnya kepada anaknya???
Sama seperti hari-hari sebelumnya, bintang menggambar sketsa bentuk rumah. Ini adalah tugas yang diberikan gurunya di SMP. Di dalam sketsa itu ia melukiskan rumah yang tampak indah nan asri, disekelilingnya ada taman dan kolam ikan. Dinding tembok bagian luar diberikannya ornament-ornamen seolah berada disuatu pegunungan dengan air terjun Niagara yang bersuara gemercik. Dan waktu itu pula ia bertekad suatu hari ia pasti bisa jadi seorang kontraktor bangunan. Semua impiannaya ia tulis di dalam kitab berwarna cokelat bergambarkan kepala kancil. Mungkin orang akan berkata bahwa itu adalah buku dongeng si kancil. Memang betul itu buku dongeng yang disulapnya sebagai buku diary nya agar tak seorangpun tahu kecuali Tuhannya. Bintang pernah mempunyai prestasi sewaktu SMP yaitu juara 1 lomba keagamaan tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten. Tapi anehnya ia hanya mendapatkan hadiah bingkisan cokelat tipis berisikan 3 buah buku. Juara 1 sekabupaten kog hadiahnya Cuma 3 buku??? Ya itulah sebuah realita bukan halusinasi nyata???
Sampai SMA, bintang tetap rajin belajar seperti biasanya dan tetap menjadi seorang yang pendiam dan tak banyak bicara. Bintang ini dari kecil sampai SMA belum pernah mengobrol sama makhluk yang konon katanya keturunan Hawa. Hahahaha…… bahkan mungkin kehidupan nya makhluk ini adalah alien yang asing dan menakutkan. Pernah suatu hari ada temen-temen ceweknya datang ke rumahnya hanya untuk menumpang membuat kado untuk teman mereka yang berultah. Tapi, temen-temennya ini hanya ditinggalkannya di ruang tamu. Bintang seperti orang kebingungan atas kehadiran alien-alien ini. Gara-gara itu, temen-temen nya pun segera pergi dari rumahnya. Bintang ini sebetulnya bukan takut kalau ngobrol dengan mereka. Tapi jika ia ada teman cowonya, Bintang berani namun jika sendirian saja ia tak bisa berkutik. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai tamat SMA. Sekali lagi Bintang hanya menjadi sesosok yang paling senang dengan yang namanya “memendam”. Buku diary bercover buku dongeng adalah teman sejatinya

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------


......kita berhak punya mimpi dari sebuah keinginan yang lahir dari pribadi yang bisa disebut dengan apa yang namanya "cita". Kadang ketika bersiteru bahkan berdebat keras untuk memperjuangkan apa yang kita sebut sebuah "cita", kita menjadi lemah tak berdaya, tak hayalnya seperti bunga mawar yang gagal mekar, tak kiranya seperti pohon yang cebol alias "bonsai". Sebuah impian yang sekali lagi harus terpendam untuk sebukit kebaikan . Bukankah kebaikan itu juga termasuk ibadah. Tapi kenapa harus berkorban pikiran?? kenapa juga harus berkorban raga meski jiwa kita berada di sebuah pulau dongeng. Mungkin dongeng seekor siput yang cerdas mengelabuhi seekor kancil??? atau mungkin dongeng kerajaan timun emas???-----

Kisah di atas masih berlanjut :)

0 komentar: