Sekapur Sirih

Welcome to my Blog!
Saya Mukti Yulianto, seorang penulis, apoteker dan pecinta alam.

When I'm not working, I'm blogging :-)

Follow Me

Subscribeto blog
Follow me onTwitter
Add myFacebook

Pengikut

Copyright


© 2014 by Mukti Yulianto.

Terimakasih atas kunjungannya. Mohon kritikan dan sarannya. Jika ada yang bermanfaat, silahkan dishare.

Selasa, 15 Mei 2012

 Hidup ini adalah seni bagaimana membuat sesuatu. Dan seni harus dipelajari serta ditekuni. Maka sanagtlah baik bila manusia berusaha keras dan penuh kesungguhan mau belajar tentang bagaimana menghasilkan bunga-bunga, semerbak harum wewangian, dan kecintaan di dalam hidupnya. Itu lebih baik daripada ia terus menguras tenaga dan waktunya hanya untuk menimbun harta di saku atau gudangnya. Apalah arti hidup ini, bila hanya habis untuk mengumpulkan harta benda dan tak dimanfaatkan sedikitpun untuk meningkatkan kualitas kasih sayang, cinta, keindahan dalam hidup ini? Banyak orang yang tidak mampu melihat indahnya kehidupan itu. Mereka hanya membuka matanya untuk dirham dan dinar semata. Maka, meskipun berjalan melewati sebuah taman yang rindang, bunga-bunga yang cantik mempesona, air jernih yang memancar deras, burung-burung yang berkicau riang, mereka sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Di mata dan pikirannya hanya ada uang---berapa yang masuk dan keluar hari itu---saja. Padahal, kalau dipikir lebih dalam, sebenarnya ia harus membuat uang itu menjadi sarana yang baik untuk membangun sebuah kehidupan yang bahagia. Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nisbi. Yakni, segala sesuatu akan terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besar karena mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sememtara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang siap menggigit; ia akan menggonggong dan mengejar anda bila tampak ketakutan saat melihatnya.
Sebaliknya, ia akan membiarkan anda berlalu di hadapannya dengan tenang bila anda tak menghiraukannya, atau anda berani memelototinya. Penyakit yang paling mematikan jiwa adalah rasa rendah diri. Penyakit ini dapat menghilangkan rasa percaya diri dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya sendiri. Maka dari itu, meski berani melakukan suautu pekerjaan, ia tak akan pernah yakin dengan kemampuan dan keberhasilan dirinya. Ia juga melakukannya dengan tanpa perhitungan yang matang, dan akhirnya gagal. Percaya diri adalah sebuah karunia yang sangat besar. Ia merupakan tiang penyangga keberhasilan dalam kehidupan ini. Adalah sangat berbeda antara “percaya diri” dengan “terlalu percaya diri”. Terlalu percaya diri merupakan perilaku negatif yang senantiasa membuat jiwa bergantung pada khayalan dan kesombongan semu. Sedangkan percaya diri merupakan hal yang posituf yang kan mendorong stiap jiwa untuk bertanggung pada kemampuannya sendiri dalam memikul suatu tanggung jawab. Dan karena itu, ia akan terdorong untuk senantiasa mengembangkan kemampuannya dam mempersiapkan diri dengan matang dalam menghadapi segala sesuatu. Elia Abu Madhi berkata: Orang berkata,”Langit selalu berduka dan mendung.” Tapi aku berkata.”Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana.” Orang berkata,”Masa muda telah berlalu dariku.” Tapi aku berkata,”Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda tak kan pernag mengembalikannya.” Orang berkata,”Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka. Janji-janji telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya. Maka akupun berkata,”Tersenyum dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya.” Orang berkata,”Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus.” Tapi aku berkata,”Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapatkan penangkal dahagamu. Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin semua haus akan sembuh dengan sendirinya. Maka mengapa kau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau seolah-seolah yang melakukan dosa dan kesalahan itu?” Orang berkata,” Sekian hari raya telah tampak tanda-tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka-boneka. Sedangkan aku punya kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang walau hanya satu dirham adanya.” Ku katakana,” Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena anda masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara-saudara dan kerabat yang kau cintai. Orang berkata,”Malam memberiku minuman ‘alqamah, tersenyumlah , walaupun kau makah buah ‘alqamah Mungkin saja orang lain yang melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah Apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri? Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium Juga tak membahayakan jika wajahmu tampak berseri Tertawalah, sebab meteor-meteor langit juga tertawa Mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang-bintang Orang berkata,”Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah. Ku katakan,”Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum.” Sungguh, kita sangat butuh pada senyuman, wajah yang selalu berseri, hati yang lapang, akhlak yang menawan, jiwa yang lembut, dan pembawaan yang tidak kasar. “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian berendah hati hingga tidak ada salah seorang di antaramu yang berlaku jahat pada yang lain dan tidak ada sal;ah seorang di antaramu yang membanggakan diri atas yang lain.” (Al-Hadits)

0 komentar: